Bab 8: Berbicara Cinta

118 30 15
                                    

           "Ehm... aku pernah membaca artikel tentang cinta. Dulu... waktu masih remaja labil, berbicara cinta katanya cinta itu rumit." Dion menghela napas. Rambutnya berantakan tertiup angin. Aku menyipitkan mata, menatap silau mentari yang menyelinap di antara dahan.

          "Cinta akrab dengan semua hal di dunia. Di novel-novel sih digambarkan sebagai kebahagiaan dan kehilangan. Dan denger-denger, cinta yang paling tulus adalah kasih. Orang-orang menyebutnya Unconditional Love."

          Aku berusaha memancing mata pekatnya yang menatap ke bawah untuk beralih padaku. Pada sepasang mata ini yang mengisyaratkan tanda tanya.

        "Dari buku-buku yang aku baca, katanya seperti itu serupa kasih. Dan hanya dimiliki oleh Tuhan. Bagaimana indahnya cinta dunia, sungguh cinta yang tidak menuntut apapun bahkan kesetiaan adalah cinta Tuhan dan orang tua."

        "Benarkah?"

          Mata Dion beralih padaku. Aku mencari-cari kebohongan yang berwujud kemunafikan. Tapi, nihil. Kalimat itu keluar sebagai buah pemikiran dan perasaan. Setulus itu. Mungkin.

          "Kamu hanya harus merasakannya saja. Sebuah perasaan hanya bisa dipraktekkan, ia akan bernilai nol jika hanya teori." Senyumnya membawaku pada kepercayaan.

           "Dulu... Pernah ada yang bertanya seperti itu padaku. Mungkin jika aku masih bisa menemuinya, dengan senang hati aku akan memberitahukannya seperti kamu memberitahuku."

            Aku menarik kedua ujung bibir, mendapati ketulusan di manik mata di bawah bulu mata setegas itu. Juga perasaan lembut di bawah payung bulu-bulu mata indah itu. Bukan yang terindah di dunia, juga bukan kesempurnaan mata. Hanya serupa kesederhanaan yang memikat.

           Sudah lama rasanya aku tidak menemukan rasa ini. Tidak mendengar kata sesederhana itu. Sudah bertahun-tahun kuhabiskan, entah untuk mencari atau sekadar menunggu perasaan nyaman.

          Caranya berbicara, tatapan seperti yang aku cari, juga perilaku canggung yang sama dengan dua hari yang lalu ketika kami bertemu. Betapa singkatnya waktu. Aku masih menikmati percakapan kami di siang itu, sebelum sepasang mata yang lewat menatapku. Lengannya tanpa sengaja menyenggolku. Aku menoleh. Kudapati tato di leher jenjangnya. Sial, wanita ini. Terakhir, mata itu menutup perjumpaan kami yang disengaja. Aku benci ditatap seperti itu.

         Aku mendengus. Mata itu... Kenapa dia mengikutiku? Bukankah perjanjiannya masih tiga minggu lebih? Sepasang mata yang akrab bagiku dulu, bertahun-tahun yang lalu ketika aku menangis, mata itulah yang pertama kali menatapku, memberikan rasa tenang hingga tangisku reda.

         Dulu. Ketika aku belum merasakan asam garam kehidupan. Mata itu selalu bersanding dengan senyum dan lesung pipitnya, aku ingat betul ketika itu pemilik sepasang mata itu berkata: "Udah nangisnya, Kak Alena di sini kok." Kemudian aku mengerjap dan lamunanku lenyap sembari menoleh ke belakang menatap punggung wanita itu.

        Rasa-rasanya ingin sekali sepasang kaki ini mengejarnya dan memintanya untuk berhenti mengorek kehidupan pribadiku. Namun, sebuah tangan yang menjamah lembut bahuku membuatku membuang jauh-jauh niat itu. Jelas saja Dion menyimpan curiga, bagaimana mungkin aku menatap orang sebegitu intens jika dia buka seseorang yang kukenal.

       Gelengan kepalaku menjawab Dion ketika ia mengangkat alisnya hendka mengetahui apa relasi antara aku dengan orang asing tadi. Orang asing baginya. Dan aku.

        "Sebenarnya ada yang aneh..." ucapku hampir-hampir tertelan suara canda tawa anak-anak yang lewat berlari-lari dan menaiki sepeda di sebelah kami. Setelah anak-anak itu lewat, barulah suasana canggung semakin menjadi. Jika kalian bertanya kenapa aku merasa nyaman walau rasa canggung sering menghampiri kami, entahlah, itu semacam rasa polos yang nyaman bagiku.

       "Kenapa kita sering bertemu akhir-akhir ini tanpa janji saat kita belum saling mengenal?"

      "Hm.. Entahlah."

       Hingga siang menjelma menjadi sore, dan sore berkembang menjadi waktu yang disebut manusia "petang" kami berbincang panjang. Dion mengantarku hingga ke depan rumahku. Matanya sempar terkesima melihat bangunan dua tingkat dengan gaya minimalis ini. Lampu depan rumahku berkedip-kedip. Mungkin hidupnya sudah tidak lama lagi.

       "Hei, lampu rumah kamu berkedip-kedip. Kamu punya cadangan bola lampu? Biar kuganti."

       "Tidak ada."

      "Kalau gitu tunggu sini ya, aku cari warung sebentar. Mungkin agak lama soalnya aku gak tau daerah sini."

      "Wah gak usah repot-repot."

      "Gak apa-apa toh kalo aku pulang juga gak ada kerjaan di rumah."

      "Kalo gitu nanti telfon aku ya kalo udah mau ke sini lagi, aku mau mandi dulu."

      "Yasudah, da..."

      Aku melambaikan tangan dari pintu, menatapnya menjauh lalu menutup pimtu dan menguncinya. Hangat. Aku merasakan sesuatu yang hangat di hatiku. Tapi, apa? Jujur aku tahu bagaimana orang-orang menamai rasa ini, hanya saja aku takut menerka-nerkanya. Takut jatuh. Takut luka. Seperti itulah. Aku beranjak ke atas bergegas untuk mandi.

      Tepat saat aku duduk di pinggir kasur, nomor Dion tertera di layar ponselku. Aku beranjak dengan piyamaku. Rasanya aneh dan menyenangkan ketika tanganku menarik kenop pintu dan di balik daun pintu itu ada Dion. Dion tersenyum sambil memamerkan bola lampu 2200 watt di tangan kanannya.

      Lalu aku mengambilkan kursi untuknya. Dion naik, membuka bola lampu lama lalu menggantinya dengan yang baru. Dari bawah, aku menatap matanya yang masih asik dengan bola lampu. Ketika kedua tangannya masih terjulur ke atas, ia menatapku di bawahnya. Kedua pasang mata yang saling menatap. Lalu seulas senyum darinya memecah rasa malu yang diam-diam menyusup di dalam diriku.

     "Terima kasih." Dion mengangguk.

     "Berapa bola lampunya?"

    "Dua ribu dua ratus watt."

    "Maksudku, harganya."

    "Tidak usah, aku ikhlas kok. Lagian aku lagi gak butuh uang. Bayarnya nanti saja, kalau aku lagi krisis uang."

    "Ah, begitu."

    "Becanda."

     Serentak tawa kecil kami memenuhi keheningan petang itu. Kemudian, lelaki itu segera pamit dengan alasan takut dicari keluarganya. Angin malam seakan mengantar punggung Dion menjauh dari pandanganku. Aku merasakan jamahan lembut angin itu dan tersenyum tipis alih-alih mengelus lengan karena dingin yang dibawanya. Keberuntungan apa ini? Seakan aku kembali merasakan sejuk sekaligus hangat yang sama seperti betahun-tahun silam.

     Berbicara cinta, apakah itu latar belakang semua ini? Kuharap tidak. Ssttt...  meski sesuatu dalam diriku tetap menggebu mengatakan dalam sepi sebuah kalimat: Ya, kuharap demikian.

Kenapa Hujan?Where stories live. Discover now