" Sini bayarannya"

Anaya pun merogoh saku bajunya dan kemudian meyondorkan uang 50 ribu kepada Riki" buat beli kouta internet."

" Nggak." Balasnya dengan singkat.

" Matre juga lo jadi cowok."

" Turutin permintaan saya."

Anaya terkekeh " Aduh,, gua bukan pembantu lo."

" Lima permintaan," tawar Riki.

" Empat aja gimana," Ledek Anaya

" Yaudah."

" Oke dua deh." Jawab Anaya

" Oke, dua permintaan," balas Riki dengan malas yang kemudian di iyakan oleh Anaya.

Setelah selesai kegitan negosiasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak ini, Riki pun langsung mengantarkan Anaya kembali ke rumahnya. Tepat ketika deru motor Riki berhenti didepan gerbang rumah Anaya, Zidan dengan mobilnya pun baru juga sampai.

Anaya cepat-cepat turun dari motor Riki. " Makasih, cepet pulang," Pinta Anaya seraya mendorong motor Riki.

Riki masih tetap diam, ia malah fokus memperhatikan laki-laki yang akan segera turun dari mobil mewah itu.

" Ngapain sih masih disini?!," tanya Anaya dengan nada yang sudah tidak bisa santai.

Zidan dengan seragam sekolah putih abu ynag sudah tidak rapih itu pun lekas turun dari mobil kemudian berjalan mendekat ke tempat dimana Anaya dan Riki sedang berdiri.

Riki yang sejak tadi suduh dipaksa pulang oleh Anaya, dengan sengaja turun dari motornya. Ia menyalami kakak kandung Anaya dengan sopan. " Saya Muhammad Riki Alfarezy, Ka. Teman sekelas Anaya," kata Riki dengan sopan.

Zidan menatap Riki seraya tersenyum manis " Makasih ya, Ki. Tadi saya nggak sempet jemput dia karena ada rapat OSIS," Kata Zidan menjelaskan.

Anaya menerobos masuk kedalam percapakan keduanya " Kenapa gak kabarin gua?."

Zidan langsung merogoh saku celananya mengambil benda pipih yang kemudian di perlihatkan ke arah Anaya " Handpone gua mati."

Tanpa berpikir panjang, Anaya pun langsung berjalan santai masuk kedalam rumahnya. Zidan yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala.

" Makasih ya, Ki," kata Zidan seraya menepuk pundak Riki dan kemudian mengejar adiknya itu.

Awan yang awalnya menampakkan warna putih dan biru langit dengan begitu indah , kini digantikan oleh pekatnya malam. Udara yang awal mulanya begitu stabil, kini berubah menjadi lebih dingin dari biasanya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi waktu setempat, orang-orang mungkin setdang tertidur pulas, atau bahkan sedang asik dengan mimpinya tapi tidak dengan Anaya, ia tiba-tiba terbangun, gadis itu kedinginan sekali.

Ia duduk diatas kasur kesayangannya yang bernuanskaan minions dengan mata yang masih terpejam. Selain terbangun karena alasan kedinginan, gadis itu rupanya juga terbangun karena lapar.

Setelah mengumpulkan niat dengan waktu yang cukup lama, gadis itu pun keluar kamarnya. Ia pergi ke kamar kakaknya itu untuk mencari makanan. Karena di dalam lemari es miliki Zidan, ketersediaan makanan jauh lebih banyak dibandingkan lemari es yang ada didalam kamarnya. Dengan perlahan-lahan seperti maling, Anaya pun sampai tepat didepan pintu kamar kakak itu.

Anaya menoleh ke kanan dan kiri , memastikan bahwa situasi sudah aman. Ia dengan perlahan membuka kamar kakaknya tanpa berhasil mengeluarkan suara kecil sedikitpun.

Anaya mengehela nafas lega seraya tersenyum kemenangan. " Terima kasih ya Allah,"katanya seraya menengadah ke arah langit-langit kamar. Terlihat Zidan yang masih begitu lelap dalam tidurnya.

Sebelum masuk ke kamar kakaknya itu, ia sudah ancang-ancang membawa sebuah plastic kresek yang berukuran besar untuk makannnya nanti.

Anaya pun dengan cepat langsung membuka lemari es milik kakaknya itu. Satu persatu makanan ringan ia masukkan kedalam kantong kresek miliknya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Gadis itu malah terlihat begitu senang bisa menjalankan misi ini dengan baik.

" Berbakat juga gua jadi rampok," Katanya dengan pelan.

" Oh ini rampok."

Suara itu berhasil mengagetkan Anaya , Anaya yakin bahwa kakaknya itu terbangun. Ia langsung memutar otaknya untuk melakukan hal apalagi selain ini. Ia pun langsung menangkat kedua tangannya seperti hantu mumi seraya menutup kedua bola matanya dan menghentikan aktivitasnya mengambil makanan.

" Oh adik gua mengigau," Ledek Zidan yang pura-pura percaya dengan yang dilakukan adiknya itu.

Anaya tetap berusaha profesional dengan actingnya itu. Tapi Zidan malah terus menggodanya. Sampai ketika Zidan mengelitiki Anaya, Anaya sudah tidak bisa melanjutkan lagi actingnya, ia tertawa.

" Abang ah. Rese lu. Gua laper," katanya seraya memukul tubuh kekar kakaknya itu.

" tinggal ambil aja kali, ngapain pake acara jadi maling segala?," tanya Zidan sambil menjitak Anaya dengan pelan.

" Iseng aja sih gua, Bang," jawab Anaya ngasal.

" Mana ada, udah bawa kantong kresek gini. Lu udah nyiapin ini dari kapan ade ku sayang."

Anaya menatap zidan seraya memelas.

" Udah makan sini sama gua," katanya seraya mengambil makanan yang ada di lemari es miliknya dan kemudian mengajak Anaya duduk.

Mata Anaya menyapu sekeliling kamar kakaknya " Kamar lo gak ada balkonnya, gak seru."

Zidan hanya geleng-geleng kepala seraya menatap lekat adiknya itu.

" Lo ngapain liatin gua, Bang. Pasti lo lagi ngatain gua dalam hati, kan? Karena gua gak bersyukur?," tuding Anaya seraya menunjuk wajah Zidan.

Zidan menghiraukan perkataan adiknya, karena Zidan sudah tahu, ketika ia membalas ucapan adiknya, ia akan berdebat perkara hal kecil. Jadi sebagai kakak yang baik, ia lebih memilihkan mengalihkan hal itu agar terhindar dari sebuah perdebatan dengan adik cantiknya.

" Udah lama gua nggak denger lo main musik," ujar Zidan mengambil sebuah gitar yang terpampang rapih di dinding kamarnya. Gitar dengan warna cokelat tua dan sebuah capo berwarna merah pun ia berikan kepada adiknya itu. Gitar bagi Zidan adalah sebuah hiasan dinding kamarnya.  Tapi bagi adiknya , gitar adalah teman ketika dirinya bosan. 

Dalam Diam (REVISI)Where stories live. Discover now