Bagian 4 : Kuburan Papa

31 2 0
                                    

Semalaman penuh aku terjaga. Setiap aku ingin memejamkan mata pikiran buruk itu kembali datang, astaga! Betapa menderitanya aku saat ini, untuk tidur pun tidak sanggup. Masih saja kecelakaan yang merenggut nyawa Papa itu membekas dengan baik dipikiran ku.

Aku masih ingat satu minggu yang lalu, aku masih memiliki jam tidur yang baik. Walaupun pikiran buruk itu sudah mondar-mandir dipikiranku, seperti setrika yang sedang menggosok baju. Saat ini, terhitung mulai semalam aku sudah tidak bisa lagi untuk memejamkan mata.

Saat ini waktu menunjukan pukul 04.00 dini hari waktu Rotterdam. Sepertinya daripada aku harus berbaring dan bernapas diatas ranjang, lebih baik aku mengunjungi kuburan Papa pagi ini. Ya, aku tahu ini masih sangat pagi, biar saja ini adalah waktu yang tepat disaat semua pengendara mobil tertidur pulas di kamarnya.

Aku mulai beranjak dari ranjang, dan mengambil jas tebal yang menggantung didalam lemari. Aku mengambil jas tebal yang kerahnya terdapat bantalan kecil untuk menghangatkan leher hingga telinga bawah. Sebelum aku meninggalkan kamar, aku ingin menyampaikan kepada Papa bahwa aku akan mengunjunginya pagi ini. Lantas aku ambil bingkai foto yang terdapat foto Papa yang sedang menggendongku, "Pa, Marsh akan bermain kerumah baru mu pagi ini." kataku berbicara dengan foto Papa.

Aku lantas meninggalkan kamar dan menuju kamar Mama, untuk memintanya mengantarku ke kuburan Papa. Bukan berarti aku manja dan penakut, aku hanya tidak ingin saja jika nanti ada deru mesin mobil yang menganggu perjalananku. Aku mulai membuka pintu kamar Mama yang tidak terkunci.

"Ma," panggilku dengan suara pelan. "Ma, bangun."

Mama nampak terlihat kaget, mungkin dikiranya aku ini hantu. Bagaimana tidak, dengan wajah yang masih penuh luka dan dengan jas tebal yang panjang menjuntai hingga mata kaki. "Marsh, mau apa pagi-pagi menganggetkan Mama?" Mama nampak melihat kearah jam dinding, "Ini masih dini hari. Sudah kembali tidur, atau kau ingin tidur dengan Mama? Mari naik lah." Mama kembali menarik selimutnya.

"Ma, antarkan Marsh ke tempat Papa." pintaku sambil menyingkap selimut Mama.

"Marsh, nanti aku akan antarkan. Tapi jika matahari sudah bersinar."

"Ma, bukan kah kau sudah janji dengan Suster Anna untuk selalu ada?" tanyaku, "Ini waktu yang tepat agar aku tidak mendengar suara deru mesin mobil." aku terus meminta agar Mama mau mengabulkan permintaan ku.

"Baiklah, Mama ambil jas dulu." Mama kemudian sedikit beringsut dan beranjak dari ranjangnya untuk menuju lemari guna mengambil jas. Udara Rotterdam memang selalu dingin. "Mau dengan apa kita kesana? Kau pasti tidak mau jika menggunakan mobil." tanya Mama sambil menyisir rambutnya.

"Dengan jalan kaki?"

"Kau yakin dengan keadaan kaki mu yang masih lemah? Apa kau sanggup? Perjalanan kita dari rumah sampai makam kurang lebih berjarak 1,5 kilo meter."

"Kau lihat Ma, aku sudah bisa berdiri." kataku sambil sedikit menghentak-hentakan kaki di karpet. Jujur sebenarnya kaki ku masih terasa sedikit sakit, namun aku sudah rindu dengan Papa. "Aku kuat." pernyataanku kembali meyakinkan Mama.

"Baiklah kalau itu mau mu." Mama lantas mengenakan jas tebalnya dan menuntunku untuk berjalan keluar kamar. "Marsh kau yakin?" tanya Mama kembali.

"Iya, sangat yakin." aku menatap Mama dengan mata berbinar.

***

Sepanjang jalan Mama selalu berusaha untuk menjagaku. Sesekali aku meminta Mama untuk berhenti sejenak guna mereggangkan otot-ototku kembali, Mama dengan sabar membantuku untuk bersandar di bangunan toko yang belum buka. Mama memang wanita terhebat yang ada di dunia.

Maisha & Marsh : Trauma Masa Lalu Bukanlah Sebuah PenghalangWhere stories live. Discover now