Sembari melepas mantel lalu menggantungnya di gantungan dekat pintu, disadarinya nama kafe terdengar familiar. Pikirannya mulai menggali ingatan lampau, lalu tercetuslah kafe favorit salah satu teman dekat Taehyung, Ryuna. Namun Bora beranggapan bukan itu yang seharusnya dia ingat.

Dia tahu kalau Hwang Minjung tidak mungkin menyerah dalam usaha mendapatkan cucunya. Sebagai salah satu ahli waris perusahaan Stellar and Orion, Taehyung membutuhkan penerus setidaknya satu anak laki-laki. Cucu laki-laki pertama akan diperhitungkan menjadi penerus utama. Taehyung diharuskan punya anak laki-laki untuk menggeser posisi kakak tirinya, sebab kakak tiri Taehyung hanya memiliki satu anak perempuan.

Bora menekan pelipis sambil terus berpikir. Tidak lama lagi Hoseok akan datang ke ruangannya, memberikan laporan lengkap yang dia butuhkan sebelum rapat pemotretan berlangsung. Dia masih menduga-duga, siapa gadis pilihan Ibunya. Keteguhan hati Bora mulai goyah, sebab fakta seorang gadis asing akan mengandung bayi Taehyung sementara dia tidak akan pernah hamil.

"Kita masih bisa punya anak, Bora."

Taehyung benar, rahim dan indung telurnya baik-baik saja, andai kecemasan tidak mengusai pikirannya. Makhluk hitam berkuku panjang kerap datang setiap kali dia berpikir ingin hamil, berbisik lirih di rungunya, menelusup jauh ke hati terdalamnya.

Kau akan membunuh bayimu lagi, Han Bora.

Bora terhenyak dari lamunan dan menemukan Hoseok di depan pintu, pria itu memberinya senyum cerah seperti yang biasa dia lihat. Setelah menyerahkan berkas pekerjaan sembari menjelaskan urutan pemotretan, termasuk wardrobe yang dipakai model, Hoseok menawarkan diri membuatkan kopi karena Bora terlihat agak gemetaran.

"Tidak perlu, itu tugas Jisoo," kata Bora. "Ketemu di ruang meeting tujuh menit lagi," tukasnya, lalu Hoseok undur diri dari ruangan.

Bora tidak benar-benar memeriksa berkas yang diberikan Hoseok, pikirannya kini beralih pada Taehyung, menduga-duga reaksi Taehyung tentang rencana surrogasi yang dia sepakati dengan Ibu mertuanya. Dia benar-benar tidak berani membayangkan kemurkaan suaminya, bila nanti pada akhirnya fakta gelap itu dia jabarkan pada Taehyung.

Sepanjang Bora mengenal Taehyung, pria itu hampir tidak pernah marah—tidak benar-benar marah dalam arti sebenarnya, Bora tidak ingat Taehyung pernah memarahinya karena suatu perkara. Akan tetapi, kenyataan itu justru membuat Bora takut, membayangkan kalau kali ini Taehyung akan benar-benar marah besar.

Tetapi kemudian, bagaimana kalau ternyata Taehyung justru setuju? Bora bicara pada dirinya sendiri, dia melihat cincin pernikahan yang terasa longgar di jari kanannya. Cincin itu dia tarik sedikit, lantas terkejut, menjatuhkan cincin begitu terdengar suara ketukan di pintu.

"Ms Han, maaf bila mengganggumu, semua orang sudah menunggu di ruang meeting."

Suara perempuan di ambang pintu tidak serta merta membuat Bora mengalihkan atensi, dia tetap setengah membungkuk mengejar cincinnya yang menggelinding ke bawah meja.

Bora berjongkok untuk menemukan perhiasan bermata ruby merah yang dibeli Taehyung enam tahun silam tapi tidak berhasil, cincin itu seperti hilang begitu saja padahal dia yakin melihatnya masuk ke bawah meja.

"Ms Han, ada yang bisa kubantu?"

Bora melihat ujung sepatu doff hitam di dekat kaki kursi, bentuk dan warnanya tidak mirip dengan sepatu yang biasa Jisoo pakai, sekretarisnya yang akhir-akhir ini sering izin kerja. Dia menaikkan pandang lamat-lamat, tertegun mendapati editor baru dalam dandanan kuno berdiri di depannya.

"Cincinku jatuh," jawab Bora terus terang, memperhatikan gaya berpakaian staf perempuan itu dengan tidak minat. "Harusnya ada di bawah meja, tapi tidak ketemu."

Winter ScentWhere stories live. Discover now