Pada hakekatnya, lebih mudah mencintai Fiona ketimbang harus melepas wanita itu. Ia tak menyesali pilihannya untuk menetapkan Fiona sebagai pendamping hidupnya. Sekalipun dengan semua cara kotor yang sudah ia lakukan untuk wanita itu. Pada akhirnya, Fiona memilih berada di sampingnya, dan ia tak akan melepaskannya. Tapi kali ini, ia tak yakin akan keberuntungannya. Akan pilihan yang nantinya diambil wanita itu karena ketololannya.

Matanya terpejam lagi, teringat akan kata-kata Brian padanya ketika ia datang mengunjungi pria itu dan mencabut tuntutannya. Ia tidak sependendam itu untuk membuat pria yang pernah mencintai dan dicintai oleh istrinya menderita. Setidaknya dengan semua kebaikan dan perlindungan pria itu pada Fiona selama ia tidak bisa berada di samping wanita itu.

"Fiona lebih memilih berada di sisimu sekalipun dengan kesepakatan gilamu itu. Itu pilihannya dan aku tak bisa berbuat banyak akan hal itu." Brian mengucapkannya dengan senyum yang terbentuk di kedua sudut bibirnya. Sekalipun senyum itu tampak menyedihkan. "Dan aku bersumpah akan mendatangimu jika sekali saja kau membuatnya menangis."

Bibirnya meringis membentuk senyum miris. Tidak ada sehari dengan peringatan yang diberikan Brian padanya, ia sudah membuat wanita itu menangis karena ketololannya. Entah sudah berapa banyak perbuatan tolol yang sudah diperbuatnya pada istrinya.

Memutuskan menghitungnya ketika ia beranjak duduk dari rebahannya. Merogoh ponselnya di saku celana sambil melangkah menuju pintu ruangan yang seharusnya menjadi kamarnya dan Fiona. Tapi, sepertinya semua tak berjalan sesuai dengan rencananya.

Nafasnya tertahan ketika ia memutar handle pintu, mendorong pintu kamar terayun membuka dan mendapati kamarnya yang terang benderang. Hanya membeku ketika pandangannya menangkap tubuh mungil yang berbaring memunggunginya. Lengkap dengan sepatu dan baju yang masih dipakainya  ketika terakhir kalinya wanita itu meninggalkan kantornya.

Segera ia menghampiri ranjangnya dengan tangisannya yang tertahan. Bersimpuh di sisi ranjang menatap wajah Fiona yang terlelap dalam tidurnya. Kehilangan kata-kata dan suaranya ketika menangkup sisi wajah istrinya penuh ketidak percayaan. Satu tangannya membungkam mulutnya agar tangisannya tang semakin kencang tak sampai membangunkan Fiona.

Fiona tidak meninggalkannya. Setelah semua kesakitan yang diberikannya, wanita itu kembali padanya. Sekalipun ada sudut hatinya yang memperingatkan agar ia jangan terlalu percaya diri dulu akan keberadaan istrinya di apartemen mereka. Tapi wajah dan keberadaan Fiona cukup meredakan ketakutannya.

Lama ia hanya memandangi wajah Fiona. Takut memejamkan matanya sebentar saja dan akan terbangun dengan kenyataan bahwa Fiona telah pergi meninggalkannya. Berdiam diri menyandarkan wajahnya di sisi ranjang. Tangannya yang mengelus pipi Fiona bergerak untuk menggenggam jemari wanita itu, agar ia bisa menariknya kembali ketika Fiona berniat melepaskannya dan mendorongnya menjauh.

"Maafkan aku." gumamnya pelan berkali-kali.

***

Fiona membuka matanya terbangun dari tidurnya. Mengerjapkan matanya ketika melihat wajah Frian yang tertidur menghadapnya. Tangannya terangkat akan memegang wajah itu, tapi tertahan oleh genggaman jemari Frian di sela-sela jarinya. Sehingga ia hanya bisa menatap wajah tampan itu.

Bekas lebam di wajah itu sudah hampir memudar, tak cukup menyamarkan mata Frian yang bengkak. Seperti habis menangis.

Apakah Frian menangisi dirinya?

Apakah Frian menyesali perkataannya kemarin?

Sungguh ia sangat sakit hati dengan kekasaran Frian padanya. Dengan keraguan pria itu akan anak yang ada dalam kandungannya. Tak habis pikir, bagaimana mungkin pria itu begitu tega berpikiran seburuk itu tentangnya? Tentang janin dan darah daging pria itu.

Love You to Death... ( F.Alandra Sagara) Terbit di Google Play Book & KubacaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora