Dama - Empat

22.6K 1.5K 243
                                    

(Dama)

Ini benar-benar siksaan untuk hatiku. Bertemu Erga setiap hari dan pura-pura bersikap biasa seolah tidak terjadi sesuatu diantara kami itu sulit bagiku.

Awalnya aku pikir aku sudah move on. Tapi saat melihat dia dan juga senyum bengkok yang terpatri di wajah tampannya membuat perutku melilit, seakan ribuan kupu-kupu tengah menari di dalamnya. Dan aku pun tahu kalau sebagian hatiku masih mencintainya.

Aku berusaha keras untuk mengabaikan keberadaan Erga sebagai tetangga baruku. Aku bersumpah, setiap hari aku tidak bersembunyi di samping jendela ruang tamu untuk menontonnya melakukan olah raga pagi, lari keliling kompleks perumahanku. Dan aku juga tidak berlama-lama berdiri di teras rumah Erga, untuk mengamati bagaimana kehidupannya sekarang, saat mengantarkan makanan pesanannya.

...

Uh. Baiklah, aku akui. Aku memang sedikit mengintip Erga melalui jendela ruang tamu saat dia berolah raga lari depan rumahku. Dan aku juga sengaja berdiri berlama-lama di teras rumahnya, saat dia mengosongkan rantang makanan yang kuantar ke dapur, sambil sesekali mengintip bagian ruang tamu untuk mencaritahu apa dia benar hidup sendiri atau tidak. Aku ini perempuan bodoh yang menyedihkan ya? Masih berharap pada mantan suami yang bahkan tidak mencintaiku.

Pernikahan kami dulu saja hanya karena perjodohan dari Papa dan Mamanya. Dia tidak mencintaiku, tapi aku cinta mati padanya.
Hah. Kenapa aku selalu jadi perempuan bodoh dan menyedihkan saat berada di dekat Erga?

***

"Na. Antarin ini ke rumah si kunyuk gondrong depan!" Ketusku menyerahkan rantang berukuran besar pada Ina. Kemudian mencicipi rasa saus pedas yang dimasak Layun.

Ina memutar mata. "Nama tetangga depan Pak Erga, Mbak. Bukan Si kunyuk gondrong," ralat Ina, "lagian Mbak Dan sama Pak Erga ada masalah apa sih? Kok Mbak berubah jadi sensi gitu tiap kali ketemu Pak Erga, atau sesuatu yang berhubungan dengan beliau?"

Aku mendesah mengingat kejadian tiga hari yang lalu, dimana Ina dan Layun baru pulang mengantarkan makanan, Erga tiba-tiba datang dan memesan makanan katering ku. Dan aku menyambutnya dengan bentakan tidak bersahabat, yang dibalas Erga dengan raut wajah memelas. Layun dan Ina langsung bingung saat melihat interaksi kami.

"Jangan-jangan Mbak Dam sama Pak Erga punya masa lalu yang romantis lagi." Tebakan Layun membuatku hampir terpeleset.

"Jangan sok tahu!" elakku.

"Ciee ...  Cieee. Muka Mbak Dam merah, cieee," ledek Layun kurang ajar.

"Jadi beneran Mbak Dam punya masa lalu romantis sama Pak Erga?" Ina ikut-ikutan, "Cerita dong. Cerita!"

Aku memelototi mereka berdua, "Nggak ada cerita-cerita! Layun lanjutin kerjaanmu. Ina, antarin makanan itu ke Rumah Erga, sebelum dia mati kelaparan," perintahku galak. Dua pegawaiku itu langsung manyun. Tapi mereka tetap menuruti apa yang kukatakan.

***

"Oh. Jadi Pak Erga asalnya dari Ibu kota?"

Pemandangan sore yang menyebalkan!

"Waaah. Pantas Pak Erga ganteng dan gayanya keren kayak bintang pilem di tivi-tivi, orang dari kota besar toh?"

Kalau bukan karena ingin membersihkan pekarangan depan rumah dan juga memberikan makan dua anak kucing kampung yang kupelihara sejak kemarin. Aku tidak akan mau keluar rumah untuk melihat kunyuk gondrong yang dirayu para gadis dan Ibu-ibu.

"Terus kerjaan Pak Erga di kota apaan ya?"

"Cuma wiraswasta biasa. Ngelanjutin usaha keluarga."

Aku yang sedang menyapu, melirik ke arah rumah sebelah. Dan tatapan mataku langsung bertemu dengan Erga. Seringainya membuatku ingin melemparkan sapu lidi ini ke kepala gondrong nya.

"Hebat dong. Kalau gitu Pak Erga ini orang kaya." Nada suara seorang ibu-ibu yang ikut rumpi di depan rumah Erga membuatku memutar mata. Ya ampun Bu, tobaaat! Ingat suami.

Erga hanya tertawa.

"Pak Erga duda mau nggak jadi menantu saya?"

"Hahaha maaf Bu, nggak bisa," tolak Erga, "Saya datang ke desa ini buat bicara dan rujuk kembali sama mantan istri saya."

Gerakan menyapuku terhenti. Aku mendongak, menatap Erga yang masih dikelilingi para ibu dan anak perempuannya, yang balas memandang memandangku sambil tersenyum manis.

Apa aku tidak salah dengar? Si gondrong itu datang kemari untuk bicara dan rujuk dengan mantan istrinya? Mantan istri nya si gondrong tukang selingkuh itu disini kan cuma aku? Dan setahuku Rara mantan istrinya yang lain, tinggal di Jakarta. Kecuali setelah cerai dengan Rara, dia menikah lagi dengan gadis dari desa ini, kemudian bercerai. Dan karena Erga masih cinta dengan mantan istri ketiga nya itu, dia nekat menyusul kesini untuk mengajak rujuk? Pemikiran ku ngawur  ya? Tapi kalau itu benar ... Kenapa juga Erga harus tinggal di sebelahku? Kan aku jadi baper.

"Waaah. Jadi istri Pak Erga tinggal di desa ini juga?" Mereka bertanya penasaran. Aku jamin, besok ini akan jadi gosip yang hangat, yang akan dibicarakan ibu-ibu PPDG (Perkumpulan Penggemar Duda Gondrong). Dan aku tinggal mendengar apa yang mereka gosipkan melalui Layun dan Ina.

"Iya."

"Siapa Pak? Orangnya seperti apa?"

Penasaran, aku menghentikan pekerjaanku dan menatap Erga yang masih terlihat asik meladeni ibu-ibu penggemarnya. Aku bisa melihat Erga menyeringai.

"Mantan istri saya itu orangnya biasa-biasa saja. Nggak cantik. Bisa dibilang jelek juga sih."

APA-APAAN ITU?

"Lha. Kalau jelek kenapa Pak Erga nikahin?" Salah satu perempuan gemuk dengan dandanan menor bertanya bingung.

"Namanya juga cinta, Bu," kata Erga malu-malu.

"Selain jelek. Mantan istri Pak Erga itu kayak gimana?" Pertanyaan dari perempuan berbeda keluar lagi.

Erga tertawa. "Selain jelek, dia cebol, cerewet, printer masak, cengeng, cemburuan, nggak bisa diatur, suka ngebantah, kalau lagi ngambek dia suka nggak mau mandi dan pengennya dibujuk pake cokelat. Dan bla bla bla bla."

Walaupun yang dibicarakan Erga itu belum tentu aku. Bisa jadi itu tentang Rara, atau mantan istrinya setelah Rara, tapi kok aku jadi merasa tersinggung ya?

"Kalau kelakuan mantan istri Pak Erga kayak gitu, kenapa Pak Erga mau nikah sama dia?"
"Karena kami dijodohin ...."

Jawaban Erga membuatku langsung menekuk wajah. Tak mendengarkan kelanjutan kalimatnya, aku segera berbalik masuk ke dalam rumah. Pikiranku kacau saat mendengar perkataan Erga tadi.

Jadi Erga datang  kemari untuk berbicara denganku? Rujuk kembali? Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Kenapa dia bisa dengan mudah mengucapkan kata rujuk setelah apa yang dia lakukan padaku waktu itu? Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?

Nada pesan masuk ponselku membuatku tersadar dari lamunan. Mengeluarkan dari dalam saku, aku segera memeriksanya.

Dari Erga.

"Darling, ini udah jam lima. Jangan lupa antarin makanan buatku sama Erik ya? Kami nggak ada yang bisa masak nih Dar. Jangan biarkan kami berdua mati kelaparan. :emoticon cium:"

"Darling. Darling. Pala lu beling?" Dumelku sebal. Memang sejak tiga hari yang lalu Erga rajin memesan makanan di tempatku. Baik itu untuk sarapan, makan siang, dan makan malam dia dan temannya yang bernama Erik.
Saat sedang asyik menyiapkan makanan pesanan Erga, aku kemudian berpikir untuk mengantar makanan itu sendiri dan mencari tahu seperti apa kehidupan Erga, sekaligus bertanya apa maksud perkataannya tadi.

***

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Jan 11, 2020 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

(Bukan) Tetangga BiasaOnde histórias criam vida. Descubra agora