Erga - Tiga

15.4K 1.1K 36
                                    

(ERGA)

Aku akui kalau aku ini laki-laki menyedihkan. Aku mencari mantan istri yang kuceraikan setahun lalu, dengan niatan agar kami bisa rujuk kembali saat bertemu. Iya, aku tahu harapan agar dia mau rujuk denganku sangatlah tipis. Perempuan mana yang mau kembali pada suami yang sudah menceraikan dia demi perempuan lain? Tapi aku akan mendapatkan Dama lagi bagaimanapun caranya.

Semoga saja dia masih sendiri, tidak memiliki kekasih ataupun suami lagi.

Dan ketika orang suruhanku menemukan alamat baru Dama, yang ternyata tinggal di sebuah desa kecil, di daerah Nusa tenggara Barat, yang merupakan tempat kelahirannya, aku memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut.

Dama tinggal sendiri dan belum menikah lagi. Dia sama sekali tidak memiliki nama seorang laki-laki dalam kehidupannya, setelah bercerai denganku. Hal itu membuatku lega dan kembali optimis. Aku berharap Dama tidak dekat lagi dengan laki-laki karena dia masih mencintaiku, bukan karena trauma akibat perbuatanku sebagai bajingan saat masih menjadi suaminya.

Dama tidak bekerja pada perusahaan atau lembaga sosial manapun. Dia bekerja di rumahnya, membuka katering dan menerima pesanan. Kuakui Dama memang jago masak. Dulu saat kami menikah, aku sempat melempar gurauan kalau dia harus mengikuti kontes Master Chef karena masakannya sangat enak. Dama hanya tersipu mendengar pujianku.

Aku menceritakan pada adikku, Esa, mengenai niatanku untuk rujuk dengan Dama. Esa menyetujuinya, dan dia mendukungku. Sejujurnya keluargaku lebih menyukai Dama daripada Rara. Mereka sama sedihnya sepertiku, ketika aku memutuskan untuk bercerai dengan Dama.

Sebagai bentuk dukungan, Esa bersedia membantuku menyelesaikan tumpukan pekerjaan di kantor, agar aku bisa membawa kakak ipar kesayangannya pulang. Dan Esa berjanji dia tidak akan memberitahu Inez mengenai keberadaan dan bahkan niatanku untuk rujuk kembali dengan Dama, mantan istriku.

Menurut Esa, Inez itu lebih mengerikan dari Rara. Dan dia juga tampaknya terobsesi padaku. Aku setuju dengan pendapat Esa, Inez memang mengerikan. Dalam seminggu, setelah kematian kakaknya, dia tidak pernah meninggalkanku sendiri, dia bahkan memperlakukanku seolah aku ini kekasihnya, padahal aku adalah suami mendiang kakaknya.

Menyeramkan.

Cintanya padaku tak akan berbalas. Aku jamin itu.

Aku pindah ke desa tempat tinggal Dama dan membeli rumah tepat di samping rumahnya. Ekspresi Dama saat mengetahui bahwa aku adalah tetangga barunya sangat tak ternilai.

Matanya melotot horor dan rahangnya terbuka lebar. Dia terlihat lucu, seperti karakter di film-film animasi yang baru saja terkena shock.

Dama juga masih secantik dulu, tidak ada yang berubah darinya, kecuali tubuhnya yang sedikit lebih berisi, rambut hitam ikalnya kini telah mencapai punggung, aura dan pembawaannya juga menjadi sedikit lebih anggun dan dewasa.

Ah. Aku mungkin salah karena mengatakan bahwa dia masih secantik dulu. Dama tidak secantik dulu, dia bahkan jadi jauh lebih cantik dan ... lebih galak sekarang.
Dia tampak tidak bersahabat saat melihatku. Dan ketika aku menyapanya, dia tidak menjawab. Malah lari masuk ke dalam rumah.
Ah. Sepertinya misiku untuk rujuk dengan Dama akan sulit. Tapi aku tidak akan menyerah.

***

"Selamat pagiii Bu Elvaaaa."

"Ngapain kamu kemari?!"

Nada tak bersahabat dan ekspresi wajah judes itu kuterima saat bersilaturahim ke Rumah Dama di hari Minggu pagi.

Aku terkekeh melihat reaksinya.

"Jangan galak-galak dong, Bu Elva. Saya kemari buat menyambung tali silaturahim sama tetangga kok."

Aku masih berdiri ganteng di depan pintu pagar, karena tetangga pemilik rumah menolak membiarkanku masuk. Bahkan untuk menginjak pekarangannya.

(Bukan) Tetangga BiasaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt