Erga - Satu

15.9K 1.2K 61
                                    

(ERGA)

Semua orang menatapku penuh simpati.

Di depan gundukan makam yang masih basah itu, aku hanya berdiri diam tanpa bisa mengeluarkan air mata setetespun. Padahal orang yang baru saja terkubur di balik gundukan tanah cokelat yang basah itu, adalah istriku ... Rara.

Dia meninggal karena penyakit kankernya yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.

Rara sebenarnya hanya mantan kekasihku. Kami menikah tiga bulan lalu, tepat setahun setelah aku resmi bercerai dari Dama. Pernikahanku dengan Rara adalah sebuah kesalahan. Aku mengakuinya. Aku menikahinya sebagai seorang teman yang bersimpati karena ajal temannya tidak lama lagi.

Di beberapa pertemuan pertama kami, awalnya aku hanya merasa iba pada Rara. Kehidupannya sebagai seorang wanita simpanan pejabat menyedihkan, belum lagi dia harus berjuang melawan penyakitnya yang mematikan. Aku mengulurkan tangan untuk menawarkan bantuan pada Rara, namun 'permintaan terakhir'nya malah menghancurkan hatiku.

"Ceraikan istrimu dan nikahi aku."

Butuh waktu lebih dari satu bulan untuk menuruti kemauan Rara.

Awalnya aku menemui dia di sebuah hotel untuk menolak permintaannya, namun ketika kata 'tidak' keluar dari mulutku, dia tiba-tiba pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit. Dia bersikeras agar aku menceraikan Dama dan menikahinya.

Dan ... ketika aku menuruti permintaan Rara, aku harus berusaha keras membekukan hatiku melihat bagaimana terlukanya Dama saat mengetahui bahwa aku 'selingkuh' dengan perempuan lain dan berniat menceraikannya. Air mata yang dia (Dama) keluarkan membuatku merasa menjadi laki-laki paling buruk di dunia.

Melewati masa-masa perceraian dengan Dama adalah saat-saat terpurukku, dia tidak pernah menghadiri sidang perceraian kami. Hingga aku harus menelan kekecawaan karena tidak bisa melihat dan mengucapkan selamat tinggal padanya untuk terakhir kali.

Terakhir aku bertemu dengan Dama, adalah ketika aku mengajak Rara ke rumah dan menjadi laki-laki brengsek dengan memperkenalkannya sebagai selingkuhanku pada Dama. Dia meninggalkan rumahku hari itu juga.

Daripada kematian Rara sekarang, entah kenapa aku lebih merasa sedih karena kepergian Dama. Anggap aku laki-laki brengsek, tapi itulah kenyataannya.

"Kak Erga?"

Tepukan lembut si pemilik jari lentik di pundakku membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh, dan mendapati seorang gadis cantik dengan rambut yang dicat kemerahan menatapku sedih.

Dia Inez. Adik Rara.

"Para pelayat sudah pulang," dia melambaikan tangan ke sekeliling makam, dan benar, suasana memang sudah sepi, "Mama sama Papa juga sudah pulang. Sebaiknya kita pulang."

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Berbalik meninggalkan makam Rara.

Saat aku berjalan keluar dari area makam, aku dikejutkan dengan tangan Inez yang tiba-tiba melingkari lenganku. Aku berhenti dan menatapnya sejenak, dia membalas tatapanku dengan senyum sedih dan sorot mata yang berbanding dengan senyumannya. Hh. Masalah.

***

"Kak Erga nggak mau mampir?"

Tawar Inez saat aku menghentikan mobilku tepat di depan rumah yang halamannya terlihat penuh oleh tenda, kursi plastik, dan karangan bunga duka cita.

Aku menggeleng. "Nggak usah. Kakak mau langsung pulang, buat ngurusin acara tahlilan kakakmu ntar malam."

Guratan kecewa yang samar terlihat dari wajah Inez, "Papa juga bakal ngadain acara pengajian dan tahlilan nya Kak Rara disini nanti malam. Kak Erga ikut tahlilan disini aja, nggak usah adain di Rumah Kakak. Mubajir," bujuknya.

Aku mengernyit sesaat ketika mendengar Inez mengatakan kalau Papanya akan mengadakan pengajian untuk Rara. Aku tidak percaya.

Karena setahuku, Papa Rara dan Inez, bukan tipe laki-laki bertanggungjawab yang Cinta pada keluarga dan anaknya. Dia bahkan rela membuat Rara menjadi wanita simpanan hanya untuk uang.

"Nggak apa-apa, Nez. Nggak mubajir kok. Makin banyak yang doain dan ngajiin Rara, makin bagus. Biar jalannya Rara dimudahkan sama Tuhan," aku tersenyum sopan, "lagian kasihan orang tuaku yang sudah nyiapin semuanya."

"Oh." Inez menunduk. Bibirnya mengerucut dan tampak kesal.

Dalam hati aku mendengus melihat kelakuan Inez. Aku bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Gadis ini benar-benar, deh, licik. Menurutku dia punya sifat yang sama seperti Papanya. Kenapa juga dulu aku harus terjebak dalam keluarga ini sampai tega menyakiti Dama?

"Pergi dulu ya, Nez."

"Hati-hati, Kak."

"Hmm." Aku segera melajukan mobilku meninggalkan rumah Inez.

Aku berdoa di dalam hati semoga setelah kematian Rara, aku tidak harus berurusan dengan keluarga itu lagi. Terlepas dari aku yang mungkin akan bertemu dengan Inez di kantor, karena saat aku dan Kakaknya menikah dia bekerja di perusahaanku, aku tidak mau lagi berurusan dengan keluarga itu.

Sekarang fokusku adalah mencari Dama, dan menemukan kembali kebahagiaanku yang sempat hilang dulu. Anggap aku jahat, seminggu sebelum istriku (Rara) meninggal, aku menyuruh orangku untuk mencari keberadaan mantan istriku (Dama) dan sekarang aku tinggal menunggu kabar dari mereka.

***

Saat keluargaku sedang sibuk menyabut para tamu yang malam ini menghadiri acara pengajian dan tahlilan kematian Rara di rumahku, aku malah menyibukkan dirinya di ruang kerja dan menolak untuk keluar. Ayah dan Esa beberapa kali datang menegurku agar menemui para tamu. Mereka bilang tidak sopan mengurung diri di ruang kerja, sementara orang-orang datang untuk mendoakan istriku. Tapi aku mengabaikan mereka.

Suara ketukan kembali terdengar di depan pintu ruang kerjaku.

Aku mendesah, meletakan kembali berkas yang sedang kubaca ke dalam sebuah map, aku kemudian berucap kata, "Masuk," agar si pengetuk pintu itu menghentikan kegiatan mengetuknya yang mengganggu.

Mamaku, yang masih terlihat cantik diumurnya yang sudah tidak muda lagi, muncul dari balik pintu sambil tersenyum lembut. Dia mengenakan gamis dan kerudung polos berwarna hitam, yang menandakan kalau keluarga kami sedang berduka.

"Erga Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya lembut sembari beranjak menghampiriku.

Aku menggeleng dan tersenyum. "Nggak Ma."

"Kamu pasti sedih ya karena kematian Rara, makannya kamu ngurung diri kayak gini."

Aku meringis mendengar perkataan Mama. Mamaku memang menganggap kalau aku 'mencintai" Rara, karena aku sudah mengorbankan pernikahanku untuk menikahinya. Yaaah selain aku, laki-laki bodoh mana coba yang berani menceraikan istri yang dicintai demi menikahi perempuan malang yang tidak dicintai? Tidak ada kan?

"Cobalah tegar, Nak. Mungkin jodohmu sama Rara cuma sampai disini." Nasihat Beliau, aku memilih tersenyum dan tak menjawab ucapannya, "Kamu sedih berkepanjangan, dan ngurung diri kayak gini nggak bakal bikin Rara senang. Yuk keluar."

"Iya, Ma. Ntar aku keluar," Sahutku. Aku tidak bisa berkata 'tidak' pada Mama, ataupun menolak permintaan Beliau.

"Bener bakal keluar nanti? Ikut ngajiin Rara?" Mama tak percaya.

"Iya Ma. Erga janji."

"Oke. Mama tunggu diluar. Kalau sepuluh menit lagi kamu masih ngunci diri disini, Mama bakal jewer dan nyeret kamu keluar," ancamnya.

Aku tertawa. "Iya Ma. Iya. Nanti aku keluar."

Aku mendesah lega saat Mama berbalik meninggalkan ku. Ketika aku hendak membereskan berkas yang berceceran di atas meja kerjaku, ponselku berbunyi. Sebuah pesan singkat dan email masuk.

"Bos. Saya sudah menemukan Bu Elva Damayanti. Alamat dan data-data lainnya saya kirim lewat email."

Senyum terukir di bibirku setelah membaca pesan tersebut. Dan segera aku memeriksa email, kemudian menelpon Erik, orang suruhanku (yang mengirimkan SMS dan email tadi) untuk mempersiapkan segalanya.

"Waktu Lo seminggu. Siapkan tiket pesawat dan dapatkan rumah untukku di samping rumah Dama, " perintahku kemudian mematikan ponsel.

Setelah ini aku nggak bakalan ngelepas kamu lagi, Dam. Aku janji.

***

(Bukan) Tetangga BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang