n a k e d

7K 168 68
                                    

Death.

Itulah namaku. Terdengar menyeramkan, huh?

Well, seseram apapun namaku terdengar, penampilanku sesungguhnya jauh dari istilah menakutkan. Kau mungkin tidak mengetahui hal ini, tapi aku adalah salah satu makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengubah wujudku. Semacam shape-shifting, kau tahu.

Sekarang, apa sudah terdengar lebih baik?

Walaupun begitu, tentu saja aku bukan ahli sihir atau tokoh cerita fantasi yang dapat berubah seenaknya. Aku adalah prajurit kematian, seorang grim reaper, malaikat pencabut nyawa, pasukan Anubis, atau apapun yang dapat kau sebutkan sebagai 'kurir' ke dunia roh. Dengan kemampuan tadi, aku tidak perlu mengenakan jubah hitam dan memegang sabit raksasa selama dua puluh empat jam seperti yang kalian, manusia, bayangkan. Sejujurnya, baju itu bahkan membuat neraka seratus kali lebih panas ketika aku mampir ke sana atau membuatku terpeleset ketika tidak sengaja menginjak bagian bawah jubah konyol itu. Not cool. Jadi, aku, sebagai Sang Kematian yang menyukai kemudahan, berpikir untuk memanfaatkan kemampuan ini.

Aku bersumpah aku dapat menjadi Beyonce Knowles ataupun Donald Trump dalam satu jentikan jari. Tetapi, berubah menjadi keduanya tidak akan memudahkan pekerjaanku. Maka, kupikir aku akan mencari profil lain yang lebih sederhana, yang tidak akan membuat klienku berteriak histeris ketika aku hendak menjemputnya.


Kala itu, aku tengah berdiri di sudut ruangan, seperti biasa. Tugasku di hari yang cerah itu adalah menjemput seorang wanita berusia dua puluh enam tahun. Ha-ha. Wanita muda selalu menjadi favoritku. Mereka selalu menjadi yang paling naif dan rentan. Paling-paling mereka hanya akan memelas dan menangis saat kujemput. Sulit untuk mengatakan aku tidak terhibur oleh rengekan mereka.

Dari apa yang kulihat, wanita itu adalah seorang perancang busana. Kurasa ia sangat menyukai pekerjaannya, karena ia masih menyempatkan diri untuk menggambar busana pesanan di hari terakhirnya. Aku menatap sebuah televisi besar yang menempel di dinding kuning kamarnya. Sebuah saluran tengah menyiarkan acara peragaan busana yang kutebak berada di New York. Beberapa kali wanita itu terpana dan tersenyum lebar, memandang lekat-lekat pakaian yang dikenakan model-model itu. Aku tidak mengerti. Untukku pakaian-pakaian itu sangat aneh dan konyol. Tetapi wanita ini terus berseri-seri menonton acara itu, tidak menghiraukan selang oksigen yang tengah tertanam di hidungnya. Hingga beberapa menit kemudian ia terperanjat girang. Seperti sebuah bohlam lampu mencuat dari kepalanya yang mulus tanpa sehelai rambut. Ia pun mengernyit, dan menyembulkan ujung lidahnya. Tangannya mulai menggambar lagi. Bergetar sedikit, namun tanpa keraguan.

Aku bergeleng, memejam mata sembari menyandarkan kepalaku ke dinding kamar rumah sakit yang pucat dan dingin itu. Kupikir aku akan mengulur waktu mengulur waktu barang sedikit untuk membiarkannya menyelesaikan gambar itu. Apa yang dapat kukatakan? Lima tahun terbelenggu dengan pekerjaan ini rupanya masih belum membuatku kebal dengan perasaan-perasaan manusia. Aku dapat merasakan kesedihan, penyesalan, maupun kebahagiaan saat aku menyentuh roh mereka dengan tanganku. Tidak seperti para senior yang dengan santai menguap saat menjemput seseorang.

Aku tidak ingin membuat diriku menjadi grim reaper yang cengeng, tapi aku dapat merasakan keinginan hidup yang membara dalam diri wanita ini. Sayang sekali, aku hanya seorang kurir.

Jam menunjukkan pukul 3 siang. Acara peragaan busana itu sudah usai sejak dua puluh menit yang lalu. Begitu pula, wanita itu, yang sekarang tersenyum memandang sketsanya di sebuah buku tebal yang kusam. Aku bergerak mendekatinya, diam-diam ikut melihat gambar itu.

Jaket kulit hitam dengan aksen emas, kaus hijau bertuliskan Gucci tanpa lengan, celana jeans hitam, serta combat boots cokelat menyita perhatianku. Tidak buruk, ujarku dalam hati. Kupikir kau akan terlihat bagus mengenakan semua itu.

NAKED | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang