**Chapter 3 a**

55.9K 1.2K 79
                                    

Cahaya mentari menelusup masuk melewati tirai kamar yang sedikit terbuka. Kulihat ke sekeliling dan mendapati pemandangan baru. Jendela besar di sebelah kanan tempat tidur, sebuah lemari putih di dinding sebelah kiri, meja rias, dan rak buku di ujung seberang tempat tidur.

Ini bukan kamarku.

Tiba-tiba potongan kejadian semalam muncul dalam ingatan, membuatku buru-buru menoleh ke arah samping.

Tidak ada. Tidak ada sosok Mike yang tertidur di sebelahku. Apa semalam aku hanya bermimpi erotis?

Saat mencoba untuk duduk, selimut yang menutupi tubuhku tiba-tiba meluncur turun memperlihatkan tubuh tanpa busanaku. Dengan kaget kutarik selimut tersebut hingga sebatas dada. Ternyata yang semalam memang bukan mimpi. Kurasakan wajahku memanas. Malu sekali rasanya mengingat kejadian semalam.

Tapi di mana Mike? Apa dia sudah bangun? Benar-benar memalukan sekali, dia bahkan bangun lebih awal. Aku menurunkan kaki dari tempat tidur lalu meraih jubah tidurku yang tergeletak di lantai, kemudian memunguti pakaian yang berserakan. Setelah semuanya terkumpul, segera saja aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Aku berdiri di depan wastafel dan menatap ke dalam cermin. Tampak beberapa titik seperti memar merah keunguan di kulit leherku. Perbuatan Mike. Kuusap bekas hickey tersebut dan kembali teringat akan apa yang ia lakukan semalam sehingga masih membekas hingga pagi ini. Wajahku memerah lagi.

Kuakui pada awalnya aku memang tidak menyukai hal itu. Hingga akhirnya Mike membawaku pada suatu sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya, dan itu benar-benar nikmat. Oh, bisa-bisanya aku menikmati sesuatu yang seharusnya kutolak. Memalukan sekali. Menggelengkan kepala, kulepaskan jubah tidur lalu mengguyur tubuh di bawah pancuran.

***

Sosok Mike masih belum terlihat di ruang makan. Hanya ada dua orang pelayan wanita yang saat melihat kehadiranku langsung menarik sebuah kursi untuk kududuki dan segera menghidangkan makanan.

"Terimakasih," ucapku saat mereka telah selesai menghidangkan sarapan. Di hadapanku kini terhidang roti panggang dan sebuah mangkuk beruap berisi cairan kental entah apa itu, juga segelas jus jeruk. Dua orang pelayan itu tersenyum sambil membungkuk, lalu segera undur diri.

"Hmmm... dimana Michael?" tanyaku sebelum pelayan tersebut pergi.

"Sepertinya master Michael masih tidur, Nyonya. Jadi kami mengantarkan sarapan ke kamarnya pagi ini," jawab salah satu pelayan itu.

Jadi Mike masih di kamarnya? Apa semalam ia tidak tidur di kamarku?

Seorang pelayan lain muncul melewati pintu sambil mendorong troli makanan. Ia meletakkan makanan yang serupa dengan hidangan yang ada di depanku ke atas meja.

"Sarapan siapa itu?" tanyaku.

"Master Michael meminta saya membawa kembali sarapan ini. Ia akan segera turun sebentar lagi, Nyonya," jawab si pelayan.

"Bagaimana sarapan untuk yang lainnya?"

"Maaf, Nyonya, kami para pelayan hanya makan di ruang khusus pelayan saja," jawabnya sopan.

Ah ya, semalam aku juga hanya makan seorang diri di sini. Apakah penghuni rumah ini hanya Mike seorang saja? Di rumah sebesar ini? Semula kupikir rumah sebesar ini ditempati oleh satu keluarga besar. Tapi tampaknya dugaanku salah.

Aku baru saja akan membuka mulut untuk bertanya kembali pada si pelayan ketika akhirnya Mike muncul di ambang pintu dengan setelan jasnya dan langsung duduk di ujung meja. Kutarik kembali ucapan yang akan kulontarkan dan memilih untuk diam.

Mike menatap ke arahku dan meraih sendoknya. Senyum nakal tercetak di bibirnya saat melirik leherku. Menyadari apa yang membuat wajah tampannya tersenyum seperti itu, segera kurapatkan kerah kemejaku ke leher.

Senyumnya malah semakin melebar melihat tingkahku. Matanya terus saja mengawasi bahkan ketika ia mulai menyendokkan supnya. Aku tidak suka ditatap seperti itu, rasanya seperti kancing kemejaku dilepas satu per satu. Menghindari tatapan Mike, aku berpura-pura fokus pada sup yang ada di depanku.

Seberapa besar pun usahaku untuk menutupi kegugupan, tanganku tetap saja gemetar. Terlihat jelas sekali ketika aku memaksakan diri untuk menyendok sup dan menyuapkannya ke dalam mulut.

Karena cemas, selera makanku mendadak hilang. Aku hanya memutar-mutar sendok ke dalam mangkuk, mengaduk-aduk sup yang sudah mulai dingin itu entah berapa lama hingga akhirnya Mike sudah berdiri di sampingku dan berbisik, "Besok kau akan mendapatkan tanda yang lebih sulit untuk disembunyikan," ucapnya dengan napas hangat yang membuatku merinding.

Ketika aku menolehkan kepala, Mike ternyata telah berjalan keluar. Membuatku hanya bisa menatap punggungnya dengan rasa kesal beserta keinginan untuk melemparkan sendok ke kepalanya.

***

Tbc

(Republish 1 Agustus 2018, 11:28)

GeheimnisWhere stories live. Discover now