2 : Kedua :

67.1K 10.5K 181
                                    



2

: k e d u a :


2014


"Lo lihat pas tadi Pak Aksel mendadak jadi banci yang godain si Marko, nggak? Parah, ngakak gue ngelihatnya!"

Sekarang sudah jam makan siang. Sebagian karyawan di perusahaan milik Hardana Hadiwijaya mulai pergi untuk salat atau mencari makan. Leia dan kedua teman sedivisinya memilih makan siang di foodcourt kantor.

Leia terkekeh, membalas seruan Nirna—salah satu temannya—tadi. "Lihat, kok. Emang sinting dia. Dari zaman kuliah udah begitu."

"Oh iya, ya. Lo kan, sekampus sama Pak Aksel," balas Nirna. "Dia pas dulu blangsakan juga kayak sekarang?"

"Mm-hm. Masih edan sampai sekarang," jawab Leia.

"Edan-edan, tapi ganteng, maksud lo?" balas Asti, temannya yang lain. Asti tertawa sambil menggeleng. "Udah humoris, pinter, ganteng pula. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?"

"Yep," Nirna mengangguk. "Dan itu berbanding lurus sama pacarnya. Mantannya Pak Aksel aja beuhh, cantik-cantik semua! Mulus, cerdas, semua tanpa ada cela."

Leia tersenyum, menyimak pembicaraan kedua temannya. Obrolan berlanjut pada gosip tentang direktur departemen mereka yang masih betah melajang di usia 38 tahun. "Padahal Pak Re itu udah oke, loh," ujar Asti. "Ketuaan sih, buat gue. But hell, he's a top-notch high-quality single."

"Tapi, Pak Re kaku banget, buset," balas Nirna. "Lagian, gue heran. Dia cari cewek yang kayak gimana, sih? Cewek di Jakarta mulai dari yang kasur-able sampai istri-able pasti ada di sekitar dia!"

"Hush, jangan keras-keras!" ujar Leia memperingati. Bisa gawat perkaranya apabila ada yang mendengar dan melaporkan obrolan kedua temannya tadi kepada orang yang dimaksud. Leia mengamati meja di foodourt yang diisi oleh Regen dan Aksel. Matanya spontan menajam saat melihat ada sosok lain di meja makan itu.

Bara Langit.

Dia mengerjap, spontan tersenyum. Ada rasa senang ketika melihat lelaki itu lagi. Jaket yang sempat dipinjamkannya belum Leia kembalikan. Namun, hari ini Leia sebenarnya berniat mendatangi ke rumah Aksel dan Bara sepulang kantor untuk mengembalikannya.

Leia mengamati sosok Bara dalam diam. Dia sudah tidak tahu lagi apa yang diobrolkan kedua temannya sekarang. Matanya fokus pada sosok Bara yang berkulit gelap dengan kantung matanya yang agak tebal. Rambut lelaki itu sudah dipotong. Leia suka potongan rambutnya yang baru itu.

Tak lama, Bara beranjak dari duduknya. Dia melambaikan tangan kepada Aksel dan Regen. Teringat jaket lelaki itu, Leia pun ikut beranjak untuk mengejar Bara. Dia memanggil nama lelaki itu saat mereka hendak mencapai lift.

Bara menoleh. Wajahnya terlihat agak kaget mendapati Leia yang memanggilnya. "Eh, Lei. Ada apaan?"

"Jaketnya," ujar Leia. "Saya bawa jaket Kak Bara, tapi sekarang masih ada di meja kerja saya di lantai atas."

"Ohh." Bara lalu mengamati Leia. "Kamu mau ngambil jaketnya dulu?"

Kepala sang gadis terangguk.

"Ya udah, ambil aja dulu. Saya tunggu di sini," ujar Bara. Dia lalu duduk di kursi panjang dekat dinding yang menghadap lift.

Leia mengangguk, memasuki lift, memasuki kubikel dan mengambil paperbag di meja kerjanya. Ketika turun di lantai satu—tempat foodcourt berada—dia tak melihat Bara seorang diri di kursi panjang.

Ada Aksel di sana. Mereka terlihat menunda obrolan begitu melihat pintu lift terbuka dengan Leia di dalamnya. Menelan ludah, Leia berjalan mendekati kedua lelaki itu. Adalah Aksel yang pertama disapanya, "Pak Aksel udah selesai makan siang?"

Aksel mendengus. "Drop the honorific, babe. Kita lagi di depan abang gue, bukan di depan karyawan lain."

"Kamu ada urusan sama Kak Bara?" tanya Leia. "Maksud saya, kalau emang ada urusan, saya pergi dulu gitu."

"Nggak, kok. Udah kelar urusan kami," ujar Aksel, melirik Bara. "Thanks ya, Bang. Jauh-jauh dari Bogor-Jakarta cuma buat kasih produk jadi buat presentasi gue tadi."

"Yailah. Kayak ngomong sama orang asing aja sih, lo," Bara berkata kepada Aksel. Dia lalu berdiri, menatap Leia. "Udah ngambil barangnya?"

"Udah." Leia memberikan paperbag di tangannya kepada Bara.

Bara menerima paperbag itu, sementara Aksel mengernyit sejenak sebelum melongok untuk mencari tahu isinya. Begitu tahu, respons spontannya adalah, "Jaket lo kenapa ada di Leia, Bar?"

"Pas ultah lo, Leia sakit. Gue pinjemin jaket aja. Habis, mukanya pucat," jawab Bara.

Aksel manggut-manggut. "Sepik lo boleh juga, Bang."

Mendengus, Bara pun melirik Aksel sambil menyeringai. "Sepik, sepik. Itu mah kerjaan lo, kali."

Aksel hanya tertawa. Dia lalu menepuk pundak Bara, mengangguk kepada kakaknya dan Leia sebelum kembali ke ruang kerjanya

Bara kini memandang Leia lagi. "Saya duluan, Lei. Thanks udah bawain."

"Enggak, Kak." Leia menggeleng. "Yang ada saya yang harus bilang makasih."

Balasan Bara hanya senyum. Dia lalu mengangguk untuk pamit, lalu berbalik badan, berjalan ke arah motornya.

Di sisi lain, Leia hanya memandangi punggung lelaki itu dalam diam. Mengamati gerakan tubuh Bara, gesturnya, ekspresinya. Hingga Bara menaiki motor dan meninggalkan kantor, mata gadis itu masih belum meninggalkan sosok Bara.

[ ].

Remediasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang