18.

167K 11.6K 1K
                                    

Percayalah umur Pak Arya dan gue gak berbeda jauh, kita cuma beda enam tahun. Cuma Pak Arya emang udah kelewat pinter jadi dia loncat kelas terus ditambah waktu pendidikan dia saat kuliah sebentar, jadi dia bisa dengan mudah menjadi dosen.

Sedangkan gue sebagai istrinya lulus tepat waktu aja udah syukur, enggak berharap tuh yang namanya jadi lulusan terbaik, asal transkrip gue gak memalukan dan bisa dipakai untuk kerja gak masalah.

Meskipun dia galak, banyak juga yang naksir dia di kampus, kata mereka yang naksir sih Pak Arya itu hot kalau lagi ngajar.

Gue gatau hot darimana yang jelas gue bawaannya mau marah mulu kalau dia masuk di kelas gue seperti saat ini.

Tadi pagi gue akhirnya berangkat bareng dia dan sekarang di dompet gue gak ada sepeser uang pun. Berasa jadi gelandangan gue.

"Ra, di kantin kira-kira bisa ngutang pake KTP atau SIM gak ya?" Tanya gue yang membuat Rara melotot.

"Lo gak bawa uang? Anjir lah setau gue gak bisa. Kalau duit lo ketinggalan woles aja sih masih punya banyak temen juga kan lo? Cowok lo juga tajir!"

"Kalau gue gak bawa uang tiap hari gimana ra?"

"Bokap lo bangkrut?" Tanya Rara heran.

"Enggak."

"Terus kenapa?"

"Gue di rampok kemarin."

"Serius?!" Tanya Rara sedikit histeris.

Iyaaa!! Dan perampoknya suami gue sendiri!!

"Kalian kalau masih mau mengobrol keluar dari mata kuliah saya."

Panjang umur... orang yang lagi diomongin sekarang lagi berdiri di samping gue.

KAPAN DIA KESININYA SIH? TAU TAU UDAH ADA DI SAMPING GUE AJA?!

"M-maaf pak," kata gue sama Rara kompak.

"Topik yang kalian bicarakan jauh lebih menarik dari mata kuliah saya?" Tanya Pak Arya menusuk.

"Temen saya abis di rampok pak kemarin," kata Rara yang gue yakin bermaksud untuk menarik simpati Pak Arya, padahal yang ada itu menambah masalah baru untuk gue.

Gue cuma bisa merutuk dalam hati dan meringis membayangkan bagaimana nasib gue di rumah nanti.

"Apa itu benar?" Tanya Pak Arya ke gue yang membuat gue menelan ludah gugup.

Gue menganggukkan kepala gue dengan kaku karena gue yakin sekarang gue dalam masalah lagi.

"Nanti ke ruangan saya," kata Pak Arya yang gue jawab dengan anggukkan tidak ikhlas.

Setelahnya Pak Arya kembali mengajar ke depan kelas dan melanjutkan materi yang sempat tertunda.

"Pak Arya mau ngasih lo duit kali itu git," kata Rara.

"Lo mau dibantu lapor polisi kali git," kini Hanif yang menimpali.

KALIAN GAK NGERTI POSISI GUE SEKARANG LEBIH SUSAH DARIPADA ORANG YANG DI RAMPOK!!!!

*****

Gue mencuci muka berkali-kali sebelum masuk ke ruang dosen. Seenggaknya gue harus terlihat lebih seger lah.

Gue memasuki ruangan Pak Arya dengan sedikit kikuk, "permisi pak,"

"Duduk," kata Pak Arya tanpa basa basi.

Gue pun menuruti kata-kata dia untuk duduk di depannya, kali ini gak ada tumpukkan apapun di meja dia yang membuat atensi dia sepenuhnya berada di gue.

"Kamu di rampok?" Tanya Pak Arya setengah menyindir. Sementara gue hanya bisa mencebikkan bibir gue karena dialah pelaku perampokan yang gue maksud.

"Mau bohong apalagi sama temen kamu?" Tanya Pak Arya.

"Saya gak bohong," jawab gue yang langsung mendapat delikan dari Pak Arya, "gak sepenuhnya berbohong," tambah gue lagi.

"Kamu secara gak langsung mengatakan saya merampok kamu?" Tanya Pak Arya.

"Pada kenyataannya begitu," jawab gue.

"Itu hukuman. Bukan perampokan," kata Pak Arya.

"Terserah bapak aja, asal bapak senang, saya permisi," kata gue sambil pamit.

Tangan gue di tahan sama Pak Arya yang membuat gue gak bisa beranjak lebih jauh.

"Saya belum selesai bicara,"

"Gak ada dosen yang membahas kehidupan rumah tangganya dengan seorang mahasiswa pak."

"Saya sedang membahas kasus perampokan yang dialami mahasiswa saya sampai dia tidak memperhatikan mata kuliah saya."

Kapan sih gue bisa menang berdebat sama dia?

Gue pun memilih untuk kembali duduk dengan gesture ogah-ogahan.

Setelahnya gue ngeliat Pak Arya mengeluarkan dua kotak yang gue hafal sebagai take away dari sebuah restaurant Jepang favorit gue.

"Makan, kamu jadi gak perlu ngutang di kantin pakai gadaiin SIM ataupun KTP kamu," kata Pak Arya.

Ego gue mengatakan kalau gue harus keluar dari ruangan itu, tapi perut gue mengatakan gue harus tinggal dan menghabiskan makanan itu. Gue bingung.

Pak Arya mulai membuka kotak itu dan harum khas dari daging teriyaki menyapa indera penciuman gue.

Perut gue sekarang bunyi, tapi kayanya Pak Arya gak bermasalah akan hal itu.

Oke gue akan mengalahkan ego gue karena gue gak punya uang sama sekali untuk kali ini.

Gue pun makan makanan di depan gue dengan lahap seperti di rumah tanpa mempedulikan orang yang di depan gue ini adalah dosen killer.

Dia suami gue yang udah ngeliat tidur urakan gue, ngeliat wajah gue yang amburadul saat baru bangun tidur, dan dia juga yang udah ngeliat daleman gue. Untuk yang terakhir gue yang membuat dia ngeliat itu sih, jadi gue cuek aja makan.

"Jangan berantakan, nanti meja saya kotor," kata Pak Arya kesel sambil membersihkan nasi yang menempel di sudut bibir gue, dan dia membawa nasi itu ke dalam mulutnya untuk di makan.

Kata-kata dan tindakannya memang tidak berbanding lurus...

Yang terpenting saat ini adalah gue gak jadi ngutang di kantin dan kenyang.

[Sudah Terbit] My Lecturer, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang