Chapter 39 : Cermin Hati

4.4K 349 14
                                    

Chapter 39
Cermin Hati
***

"Udah enggak jadi nikah eh, malah cacat sekarang." celetuk Budhe Asih yang sibuk menata jajanan pada piring-piring yang sudah siapkan. "Makanya kalo nyari suami enggak usak sok-sokan."

"Budhe..." aku memegang pergelangan tangan Fatimah agar tidak melanjutkan ucapannya. Aku menggeleng pelan padanya.

"Kayak Maya itu bisa nyari suami. Udah sholeh, kaya juga. Keluarga juga terpandang." kata Budhe Asih lagi.

Aku hanya diam sambil mengenggam erat pergelangan tangan Fatimah. Mendengarkannyan apapun yang Budhe Asih katakan. Sebagian yang dikatakan memang benar.

"Dadi wong wedok iku ojok pilih-pilih, sombong dadine." katanya yang kemudian pergi.

Fatimah menarik kursi ke arahku dan duduk menghadapku dengan wajah kesalnya. "Mbak itu ya. Kenapa sih? Dilawan kalo orang kayak gitu."

Aku meraih tangannya dan mengenggamnya lembut, "Fat, ingetkan kata ibu? Budhe Asih kan lebih tua dari kita, dia juga saudara bapak. Pantas ya kalo kita ngelawan omongannya?"

"Bukan ngelawan, mbak. Fati cuman mau ngomong yang sebenarnya." bela Fatimah.

"Enggak usah. Jangan nyakitin perasaannya!"

"Enggak dibenarkan kalo salah didiemin bukannya ditunjukin yang benar." Fatimah masih bersikukuh dengan pendapatnya.

"Mbak tahu. Mbak ngerti. Tapi, kita diam aja. Jangan buat masalah, ini hari besar Maya, Fat." aku mencoba membuatnya mengerti tapi dia menarik tangannya dariku dan pergi tanpa menggatakan sepatah katapun.

"Syah..."

"Maya? Kok ke sini? Udah selese didandani?" tanyaku bertubrukan. "Mau minum? Gugup, ya?"

"Maafin ibu, ya." aku terdiam. Maya menunduk di depanku. "Engga seharusnya ibu bilang gitu ke kamu."

"Maya, enggak pa-pa. Jangan nangis!" aku meraih tangannya dan mengenggamnya lembut. Ini hari bahagiamu. Nangisnya buat denger ijab qobul Mas Bayu aja."

"Aku bener-bener minta maaf." lirihnya.

"Jangan pikirkan apapun lagi." suruhku. "Cepet ke depan!" Maya terlihat masih tidak enak padaku akan sikap ibunya —Budhe Asih dan bagaimana marahnya Fatimah tadi. "Enggak pa-pa, May."

***

Aku melihat dari jendela rumah, di pelataran rumah Budhe Asih disulap menjadi tempat resepsi Maya. Kuade yang terpajang megah dan meja besar yang sudah diduduki oleh Maya juga Mas Bayu.

Fatimah duduk di teras rumah, dia masih marah denganku dan masih belum berbicara sedikitpun padaku.

"Ada apa?" Ibu bertanya padaku.

"Ndak pa-pa. Syah seneng aja liat Mas Bayu ngucapin ijab qobul lancar banget." dustaku.

"Nduk, ada saatnya kamu nanti yang menangis haru mendengar calon imamu berjanji di depan semua orang, terutama di depan Allah dengan sungguh-sungguh." ujar Ibu yang mencium keningku.

"Insha Allah."

Sah sah sah...
Alhamdulillah...

Annyeong, Aisyah [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang