Chapter 28 : Lamaran dan Tangisan Asha

5.5K 347 22
                                    

Chapter 28
Lamaran dan Tangisan Asha

***

Aku duduk diam di kursi kayu di mana ruang privat sudah dipesan beberapa hari yang lalu. Seperti begitu tapi, tempat ini benar-benar ruang privat. Beberapa hidangan juga sudah tersaji dengan rapi.

"Maaf telat, ya." aku mengangguk mengerti dan berdiri saat dia datang bersama dengan keluarganya. "Ini ibu dan adikku, Syah." aku segera meraih tangannya dan mencium wanita paruh baya itu, ibu dari Wisnu.

"Assalamualaikum, buk." sapaku ramah.

"Waalaikumsalam, nduk." balasnya dan mengusap lembut kepalaku.

"Ayo duduk dulu, buk!" ajak Wisnu dan menarikkan kursi untuk ibunya, diikuti kedua adik perempuannya.

"Halo, assalamualaikum." sapaku kepada dua adik perempuan Wisnu.

"Waalaikumsalam, mbak." balas keduanya.

"Kelas berapa?" tanyaku ramah.

"Sudah mau kuliah, mbak. Tau depan." jawab adik Wisnu yang memakai pakaian syar'i warna biru muda. "Oh ya, nama saya Santi, mbak." lanjutnya.

"Aisyah." balasku. "Adik mbak juga seumuran kamu, dia masih mondok, harus ngikuti pengabdian selama satu tahun sebelum lulus dan kuliah." ujarku.

"Ranti, mbak." sahut satunya yang memakai pakaian hampir serba hitam tetapi, gaya pakaiannya seperti anak muda lainnya meski dia berhijab. "Aku masih smp kelas tiga." lanjutnya.

"Aisyah, Ranti." ucapku ramah.

"Ayo makan-makan." ucap Wisnu yang sudah mengapit sumpitnya. "Ibu make sendok aja." saran Wisnu dan memberikan sendok pada ibunya dengan lembut.

"Sendoknya kok kayu ngene toh yo leh?" tanya ibunya bingung, aku tertawa pelan bersama dua adiknya.

"Buk, di sini kebanyakan pakai peralatan makan dari kayu. Engga akan patah kok, buk." ucapku menjelaskan, kulirik Wisnu yang tersenyum pula.

"Yo ngene tenan nek ora podo budoyone (Ya seperti ini jika tidak sama budayanya)." aku tersenyum mendengar ucapan ibunya Wisnu. "Halal, leh?"

"Halal, buk." jawab Wisnu. "Pemiliknya orang muslim, buk."

"Loh? Ada juga orang muslim di negera lain?" tanya beliau polos.

"Ada, toh yo, buk." jawab Ranti.

"Ada, buk. Tapi gak banyak kayak di Indonesia." jawabku. "Atau di arab sana, buk." imbuhku. "Ayo dimakan, buk." ajakku dan menyendok sup kentang dagingku. Sesekali aku menjelaskan makanan yang dipesan Wisnu, meski begitu, ibunya Wisnu benar-benar tak cocok dengan semua makanan yang tersaji.

***

"Wisnu sering nelpon ibu." ucap beliau memecah kediaman kami berdua di ruang privat ini, Wisnu dan dua adiknya pergi keluat dan hanya aku bersama ibunya. "Dia banyak cerita tentang kamu, nduk. Padahal selama ini, dia gak pernah ngomongin seorang gadis." lanjutnya. Aku hanya diam mendengar setiap ucapannya. "Seminggu lagi, Wisnu wisuda kelulusannya, sebelum ibu ke sini, dia meminta tolong pada ibu."

"Minta tolong?" ulangku sopan, aku tak ingin terlihat ikut campur dengan urusan Wisnu ataupun keluarganya.

"Iya. Dia minta tolong untuk dilamarkan pada seorang gadis."

"Gadisnya juga ada di sini, buk?" tanyaku dan beliau mengangguk beberapa kali.

"Gadisnya itu kamu, nduk." aku terdiam mendengarnya. "Wisnu berniat mempersutingmu. Mau menunaikan kewajiban berikutnya. Dia sudah merasa siap dan sanggup untuk membina sebuah keluarga." ujar beliau.

Annyeong, Aisyah [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang