3 [tiga] : Playing

69 5 0
                                    

Aku terbangun dengan perasaan setengah hati. Sedari tadi seseorang tak berhenti menggedor pintu kamarku. Aku menyahut malas dan berjalan santai dengan mata setengah terbuka menghampiri pintu lalu membukanya.

“Ada ap—“

Byurrr!

Aku tergagap, tak bisa bernapas. Siraman air yang tiba-tiba di wajahku membuatku mematung dan basah kuyup di depan pintu. Kulihat satu wajah yang sangat lekat di otakku mengulumkan cengiran lebar.

“Pagi...”

“Galih bangkeeeeeee!!!” teriakku sangat kencang. Jika saja suaraku memiliki kekuatan super, mungkin rumahku sudah ambruk.

Galih melempar baskom dan berlari keluar rumah. Aku berlari mengejarnya di jalanan sempit, hingga para tetangga yang sedang belanja sayuran di depan rumah ikut berteriak.

“Berisik banget sih ini dua anak pagi-pagi, ya ampun!”

Aku mengabaikan mereka dan tetap mengejar Galih yang berlari sambil terbahak-bahak. Sesekali dia menoleh, memastikan jarak kami. Aku bahkan berlari tanpa menggunakan alas kaki. Keburu marah tadi. Tiba-tiba, kakiku menginjak sesuatu.

“Ah!” Aku menghentikan langkah. Kulirik telapak kaki kananku. Darah. Potongan beling kecil tergeletak di tanah.

Aku menahan tangis. Kakiku perih. Aku berhenti mengejar Galih yang masih berlari, lalu aku berbalik—kembali pulang dengan langkah terseok-seok. Kudengar panggilan Galih di belakang, ia berlari menghampiriku.

“Kenapa, Kan?” tanya Galih dengan nada khawatir yang tak disamarkan. Aku diam saja. Menahan tangis juga marah. Ini semua gara-gara Galih! Teriakku dalam hati.

“Kania? Hei,” panggil Galih dengan suara lembut. Ah, aku benci suara itu.

“Kania?”

“Kaki gue kena beling, bego!” jawabku dengan nada marah dan suara yang bergetar menahan tangis. Aku benci menangis di hadapannya. Karena dia tidak akan berhenti mengingatnya, dan akan terus mengolokku setiap saat.

Tanpa basa-basi, Galih menghadang langkahku dengan membungkuk membelakangiku. “Ayo naik.”

“Apaan sih? Galih bego,” balasku kesal... juga malu.

“Buruan naik. Kalo nggak mau, gue cipok lu di depan ibu-ibu berisik di sana,” ucap Galih sambil menunjuk para tetangga yang tengah berbelanja sayuran dengan dagunya.

“Galih bego,” gumamku tak terlalu kencang, tapi aku naik juga ke punggungnya. Kulihat garis bibir Galih yang terangkat. Ia tersenyum. Aku menabok mulutnya dari belakang.

“Nggak usah senyam-senyum!”

“Hahahahahaha!”

**

A.N :

Udah baca versi lengkapnya belom di Playstore? >< yuk download cuma 5rb (gak ilegal kok itu snackbook makanya harganya murah wkwk)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ESCAPE (#Friendzone)Where stories live. Discover now