20. Zen: Laki-laki

819 112 51
                                    

Satu hal yang aku tahu pasti: Rini mendorongku ... dengan keseriusan yang tidak bisa dibilang main-main.

Dia mendorongku sekuat tenaga yang ia miliki.

Tidak mendorongku sampai terjatuh, memang, tapi cukup untuk memisahkan kami berdua ... dan meluluh lantakkan semua kehangatan yang tadi ada.

Tidak ada dari kami berdua yang berani berkata-kata. Hanya ada kesunyian, tatapan yang saling terkunci tanpa bisa menyampaikan banyak hal, serta suasana yang berubah canggung nan menyesakkan.

Sampai kedua mata Rini membelalak. Ada wajahku di pantulan matanya tapi sepenuhnya aku yakin bukan wajahkulah yang saat ini ia lihat. Perempuan ini sedang melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang berada jauh dari jangkauanku, dan aku takut akan hal itu.

"Rini?" Sekali lagi aku menyentuh dagunya. Ada sesuatu yang menyala dalam sepasang matanya yang tampak kaget ... seperti orang yang baru saja tersambar petir. "Ada apa?"

Ada sesuatu yang kamu sembunyikan.

Rini tidak menjawab. Dia tampak linglung. Orientasinya kacau dan tubuhnya goyah. Aku bergerak cepat dan menopang tubuhnya sekali lagi. Kepalanya menunduk. Dia masih diam, malah semakin tenggelamn ke dalam lamunannya yang entah sedalam apa.

"Rini?"

Teguranku kali ini ditanggapinya dengan serius. Rini mendongak tersenyum. Tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. "Tidak ada apa-apa, Raden," ujarnya. "Saya hanya ... kehabisan napas."

Mungkin. Ya, mungkin memang benar dia kehabisan napas karena seingatku aku menciumnya lebih lama dari sebelumnya. Tapi apa benar hanya itu? "Maaf." Pada akhirnya hanya itu yang bisa aku katakan.

"Tidak apa-apa." Rini melepaskan diri dariku tanpa bermaksud kasar sama sekali. Aku membiarkannya lepas, mengakhiri apapun yang tadi sudah terjalin di antara kami sambil menekan perasaan hampa karena harus melepaskan dirinya. Perempuan itu berjongkok, membuka tutup kuali sup yang masih mengepul dan menghirup aromanya dalam-dalam. "Aromanya enak. Saya jadi benar-benar lapar," gumamnya. "Oh ya, nanti mereka juga makan di sini saja, bagaimana, Raden?"

Mereka yang ia maksud itu kemungkinan besar adalah orang-orang yang tadi menolong kami dan ada di rumah ini. "Ya ... boleh," jawabku hampir asal-asalan karena masih terfokus pada sesuatu yang lain. "Asalkan kamu makan lebih dulu."

"Baiklah," Rini berjalan ke arah rak piring tanpa menunggu ataupun meminta izin.

Aku tidak keberatan. Sejak awal pernikahan ini, aku sudah pernah bilang pada Rini untuk makan saja daripada menunggu makhluk sepertiku yang tidak pernah makan. Kalau dia menungguku makan, selamanya dia tidak akan pernah makan. Sebelumnya aku tidak pernah sakit hati dibelakangkan seperti ini.

Kalau begitu kenapa sekarang aku keberatan sekali?

Ah tidak, bukan masalah etika itu yang membuatku merasa keberatan sekarang.

"Ah ya, apa Raden ingin minum teh? Saya bisa buatkan," tanya Rini di sela-sela memindahkan beberapa sendok sup ke dalam mangkuk di tangannya.

"Tidak perlu," tolakku halus. "Bukankah sudah aku bilang kamu tidak perlu bekerja apa-apa selama satu minggu ini?"

"Membuat teh tidak akan membuat saya sakit kembali, Raden."

"Berjaga-jaga lebih dini tidak akan membuat siapapun sakit, Rini."

Ia tidak membalas argumenku. Tidak bahkan dengan helaan napas sekalipun. Itu sesuatu yang aneh karena biasanya Rini minimal mengembuskan napas pelan atau terdiam sedikit lebih lama tanpa sadar ketika aku berhasil mendebatnya.

Blood and RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang