19. Tahapan Baru

731 112 9
                                    

[PRAKATA}

Hanya untuk berjaga-jaga, chapter di bawah ini dapat mengakibatkan ulu hati yang sakit, kontraksi berlebihan pada perut, imajinasi yang berlebihan, dan mungkin sedikit gangguan jantung.

Untuk rafikaparamita25 diharap tidak membaca chapter ini. 

-

"Akhirnya mendidih juga!" seruku riang saat Zen memindahkan kuali dari tungku dan memadamkan apinya. "Sekarang tinggal tunggu hangat."

"Ternyata bisa juga ya," Zen memandangi sup yang masih mengepul dari dalam kuali. Air mukanya tampak puas. Dia menutup kuali itu lagi dan memandangku dengan senyum masih bertakhta di wajahya. "Terima kasih atas bantuan kamu, Rini."

Aku membalas ucapan ramah Zen dengan satu senyuman yang sama ramahnya. "Sama-sama."

Kemudian sesuatu terlintas di benakku.

Diam-diam, mataku turun ke kemeja Zen yang terkancing rapi. Rasa penasaranku tergelitik.

"Ada apa?" Aku mendongak, bertukar pandang dengan Zen yang sepertinya menyadari peralihan perhatianku.

"Em...." Selama sesaat, aku kehilangan kata-kata, lupa ingin berkata apa. Pikiranku dipenuhi rasa malu karena sudah tertangkap basah mengamati dirinya. "Apa luka Raden tidak apa-apa?"

Zen mengerjap. "Ya," jawabnya sedikit bingung. "Bukankah sudah aku bilang lukanya sudah pulih?"

Pipiku menghangat. Sebisa mungkin aku terus menatap Zen, meski mataku berulang kali berpindah ke berbagai sudut di dapur. "Boleh ... sekarang saya melihatnya?"

Keraguan tampak di wajah Zen. "Kamu yakin?"

"Saya rasa sekarang tidak akan apa-apa," ujarku menenangkan. "Selain itu, saya perlu melihat kondisi luka Raden dan memastikannya sendiri."

Zen memalingkan mata. Ekspresinya menjadi tidak terbaca. Entah dia keberatan ataukah tidak senang, aku tidak tahu. Tanpa bicara, dia berdiri menghadapku. Tangannya membuka tiga kancing bawah kemeja putih yang ia kenakan sementara aku ikut bangkit berdiri. Ia menyingkap pakaian sejauh yang bisa diperlihatkan tiga kancing yang terbuka itu.

Sebisa mungkin aku menenangkan diri, meredam debaran yang menghantam-hantam dadaku dan berusaha untuk tidak berpaling.

Ini Zen. Pikiranku berulang kali menggaungkan kalimat itu selagi mataku memerhatikan dengan seksama tubuh Zen yang bersih tanpa ada satu pun luka di dalam balutan pakaian itu.

Mulutku hampir terperangah.

Zen benar. Tidak ada luka. Bahkan tidak ada parut yang tertinggal. Seakan-akan tidak pernah ada pedang yang semalam baru saja menembus perutnya.

"Ri-ni!"

Suara tercekat itu menyadarkanku. Mendongak, aku mendapati Zen yang sedang mengerutkan dahi. Kerutan itu sangat dalam sampai-sampai dua alisnya hampir menyatu. Matanya berkabut, tampak tidak fokus, sementara semburat merah muncul di wajahnya. Napas Zen yang sebelumnya teratur, entah sejak kapan berubah kacau.

Eh, tunggu sebentar. Sejak kapan wajah Zen jadi sedekat ini?

"Hen-tikan itu!" Genggaman erat itu menarikku kembali ke kenyataan, menyadarkan posisiku sekarang ini.

Dan aku langsung malu luar biasa karenanya.

Tanganku.

Menyentuh.

Zen.

Tidak hanya sebatas jari, seluruh telapak tanganku, menyentuh perut Zen, menyusup ke balik bajunya yang terbuka. Napasnya yang tidak beraturan dan dentaman aneh yang entah berasal dari siapa di antara kami, mengalir sejelas-jelasnya lewat telapak tanganku, memperparah debaran yang kini bergemuruh di dalam tubuhku.

Blood and RoseWhere stories live. Discover now