Bagian Dua Puluh Delapan

295 32 3
                                    

"Ikut gua yuk."

Yang tangannya ditarik cuma diem doang, nurut dan pasrah aja dibawa kemanapun si doi pengen.

Akhirnya mereka nyampe di suatu ruangan yang terang karna cahaya yang masuk dari ventilasi dan jendela besar yang gordennya dibuka.

Ruangan ini serba hitam putih. Ada sofa bulu warna item dan sebuah kasur ukuran king size dengan seprei putih di dalam ruangan itu. Sebuah lemari putih dengan cermin seukuran badan, meja kaca di depan sofa, dan sebuah grand piano besar berwarna hitam yang menghadap jendela.

Salsa mandangin tuh piano dengan takjub. Baru kali ini dia ngeliat ada piano besar di depan matanya.

Si cowo—mulai sekarang sebut saja Kevin, cuma bisa tersenyum bangga. Dan dia seneng akhirnya bisa lihat senyuman manis Salsa. Yah walau cuma senyum tipis sih.

Tanpa kata-kata, Kevin langsung menggenggam telapak tangan Salsa dan narik dia masuk makin dalem ke ruangan itu.

Salsa ga berontak dan ga peduli kalo tangannya sekarang lagi ada di genggaman Kevin. Dia cuma fokus sama piano yang bentar lagi di pegangnya.

Setelah sampe di depan piano itu, Kevin nuntun Salsa biar duduk di atas kursi piano, duduk bersebelahan. Salsa nyentuh tuts piano itu yang masih berbunyi nyaring.

Dia jadi inget masa lalunya waktu kecil dulu...

"Wahh anaknya mama suka dengerin musik ya?"

"Iya ma! Salsa juga dapet macem musik dari temennya Salsa."

"Hmm Salsa kalo udah besar mau jadi apa?"

"Apapun yang pokoknya ada kaitannya sama musik, ma!"

"Salsa coba aja main piano. Alat musik yang paling bisa ngeekspresikan perasaan. Pokonya paling enak deh."

"Kalo gitu Salsa mau dibeliin piano!"

"Haha iyaa kalo Salsa udah gede, papa sama mama pasti beliin Salsa piano besar."

"Yeaayyy!! Janji yah, ma!"

Tess
Tess

Air mata mulai membasahi pipi Salsa. Hal yang paling menyakitkan memang adalah saat mengingat kenangan masa lalu. Meski kenangan itu seharusnya menorehkan kebahagiaan.

Kenangannya dulu bersama mama tersayangnya. Mamanya yang dulu sangat mendukung keinginannya untuk bermain piano, meski mereka tak sempat membelikannya piano semasa kecil dulu.

Meski itu sudah lama, tapi keinginan untuk bermain piano masih ada. Itu karena dia pun masih mencintai musik klasik.

Dan juga, piano bisa untuk mengekspresikan perasaan.

"Hai jagoan papa, kemarilah sayang."

"Papaa..."

Salsa kecil memeluk erat tubuh papanya yang baru saja pulang kerja.

"Apa jagoan papa tidak membuat mama kerepotan hari ini?"

"Tentu tidak! Daritadi malah aku membantu mama membersihkan rumah, pa!"

"Wah wahhh.. Pintar sekali. Kalau begitu, papa punya hadiah untuk kamu."

"Apaa??"

Sang papa menunjukkan tiga lembar kertas yang berisi tiket konser resital piano.

"Uwaaahhhh kereenn.. Apa kita akan menonton bersama mama?"

"Tentu saja! Jagoan kecil papa yang pintar kan butuh hiburan."

My Hope [ ARI IRHAM FIC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang