The Findings pt. 1

Mulai dari awal
                                    

"No, lo nggak mau anterin gue balik ke kantor?? Gue nggak ada mobil!"

-

Karena nggak terlalu ngerti akses bis kota, akhirnya gue putusin buat nyetop taksi di pinggir jalan buat balik ke kantor. Lagipula dengan kondisi perjalanan yang nyaman kan gue bisa sempatkan buat melakukan kilas balik atas sikap gue ke orang-orang kantor selama sebulan terakhir.

"Sama Sonya... nggak ada apa-apa. Sama Wendy... nggak juga, paling waktu gue ledekin dia kenapa hyper banget. Sama Kresna... nggak ada. Sama... Sasha? Banyak sih, tapi ya kali dia nyelakain sepupunya sendiri cuma buat ngasih pelajaran ke gue. Gak mungkin."

Selama gue bermonolog, supir taksi yang keliatannya udah berumur cukup untuk punya tiga orang cucu, cuma bisa ngeliatin gue dengan aneh, sampai akhirnya gue berhenti ngomong.

"Lagi ada masalah apa, Mas?" Tanyanya. Mungkin dia khawatir gue gila karena terus menerus ngomong sendiri sambil ngacak rambut.

"Oh, hehe. Nggak, Pak. Lagi bingung aja."

"Mending cerita sama temennya aja, Mas. Daripada ngomong sendiri begitu..."

Kasarnya dia bilang, 'daripada lo kayak orang gila begini'. Tapi kebetulan si bapak ini punya mulut dan hati yang halus sehingga dia nggak sampai hati ngatain gue gila secara terang-terangan.

Gue akhirnya mengiyakan dan langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel, tapi tepat di saat itu juga, ada telepon yang masuk.

FIN Aska Refandy calling...

"Aska?" Apa dia udah dapat kabar dan temuan? Kalau iya, mungkin gue mesti ngomong ke Lukman buat naikin posisi dia karena kerjanya cekatan banget dan dia berhak atas posisi yang lebih dari sekedar staf. "Halo? Kenapa, Ska?"

"Pak! Saya nemu sesuatu nih, tapi ngasih taunya gimana ya? Apa saya ke polsek aja sekarang jenguk bapak?"

Tuh kan, liat aja nanti waktu nama gue udah bener-bener bersih, gue bakal ngomong ke Lukman soal stafnya yang satu ini.

"Nggak usah, Aska. Saya lagi otw ke kantor sekarang."

"Oh iya? Bagus deh. Saya tunggu ya, Pak."

Waktu sambungan teleponnya ditutup, gue langsung tersenyum simpul, merasa lega karena sepertinya kasus ini bisa diselesaikan secepat mungkin, dan itu juga berarti nama gue bisa dibersihkan lebih cepat dan gue bisa mendapatkan kepercayaan diri gue untuk berdiri di depan banyak orang kembali.

Termasuk di depan Amira Sahasika.

-

Berkat polisi-polisi yang kemarin menangkap gue dengan santainya di kantor yang lagi ramai-ramainya, gue langsung jadi perhatian by the time I stepped into the building. Satpam gedung yang biasanya menyapa gue pun kali ini cuma bisa terdiam menatap pergerakan gue; masuk gedung, nge-tap kartu akses, masuk lift. Mungkin dia cuma jaga-jaga karena ada 'kriminal' yang masuk gedung dengan entengnya.

Sekeluarnya di lift, gue langsung ketemu Wendy yang sepertinya lagi buru-buru--mau ke toilet mungkin--dia keliatan kaget banget sama kemunculan gue dan nyaris membiarkan cangkir kopinya lepas bebas ke lantai.

Sekeluarnya di lift, gue langsung ketemu Wendy yang sepertinya lagi buru-buru--mau ke toilet mungkin--dia keliatan kaget banget sama kemunculan gue dan nyaris membiarkan cangkir kopinya lepas bebas ke lantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pak Reksa!" Wendy tau-tau memekik dan langsung mengguncang badan gue. "Yaampun, Pak, saya kira gak bakal bisa ketemu lagi sama bapak....."

Ngeliat reaksi Wendy kayak gitu gue jadi nggak bisa nahan ketawa. "Yaelah, Wendy, emangnya saya mau dihukum mati apa."

"Ya, abisnya tuduhannya pembunuhan sih, kan yang saya taunya eye for an eye, tooth for a tooth gitu, Pak."

"Kan orangnya nggak mati, Wen."

"Oh? Iya ya?"

Wendy... polosnya udah mulai menyaingi Sonya kayaknya.

"Orangnya cedera aja, lagian emangnya kamu percaya saya yang ngelakuin?"

"Ya nggak sih, Pak."

Gue pun merespon dengan senyuman sambil menepuk lengannya pelan. "Selesaiin urusan kamu sana, saya mau ke Finance dulu."

Bukannya buru-buru lari--karena gue tau banget dia udah nggak bisa tahan lagi, keliatan dari gerak-geriknya--dia malah sempat-sempatnya meledek gue. "Cieee, ketemu Amira ya!" Baru kemudian lari lebih kencang dari Sonic ataupun Road Runner.

Ya, sebenernya Wendy nggak salah juga sih. Tapi target utama gue tetap Aska dan temuannya.

Dari pinggir gue nggak bisa lihat kepala Aska karena ketutupan dinding kubikelnya, gue cuma bisa lihat Sasha yang lagi serius banget menatap layar laptopnya sambil sibuk mengetik dengan cepat, telinganya yang disumbat earphone seakan memberi tanda kalau dia nggak mau diganggu siapapun.

Nggak apa sih, ngeliat dia juga udah cukup, dan keliatannya dia udah merasa lebih baik.

Perlahan tanpa perlu mencuri perhatian Sasha, gue melangkah ke mejanya Aska dan mengetuk bahunya dengan satu jari.

"Wah, udah dateng." Ujarnya pelan. "Jangan kenceng-kenceng ya, Pak, ngomongnya, Amira lagi dapet."

Mendengar informasi dari Aska tersebut bikin sebelah alis gue naik. "Terus kenapa kalau dia lagi dapet?"

"Galaknya bisa lebih parah dari biasanya, terus jadi lebih sensitif sama suara, makanya dia pake earphone gitu biar fokus."

"Oh..." Gue mengangguk pelan. "Kamu tau banyak ya tentang dia."

"Hmm." Aska cuma tersenyum simpul sebelum kemudian menyerahkan dua lembar kertas reimbursement ke gue. "Nih, Pak. Beneran ada reimbursement hari itu atas mobil bapak. Pas lagi, sore gitu sekitar jam tiga dia isi bensin. Dan, ada yang aneh sih. Masa atas nama bapak? Pake tandatangan bapak juga gitu lagi, dipalsuin."

"Hmm, gimana cara caritau yang palsuin tandatangan saya ya?"

Baru aja Aska mau menjawab pertanyaan gue, ada satu lagi orang yang heboh waktu menyadari keberadaan gue. Dan itu bukan Sasha tentunya, karena Sasha tau-tau udah nggak ada di kursinya.

"Pak Reksaaaa!" Sonya yang hari itu pakai pakaian serba hitam langsung memperlihatkan perilaku yang nggak cocok sama dresscode-nya. "Bapak udah bebas ya? Bener kan bukan bapak!"

"Belum... saya masih jadi tahanan kota."

Ekspresi ceria Sonya pun langsung hilang dan digantikan sama ekspresi kecewa. "Jadi bapak nggak boleh keluar kota? Sampai kapan, Pak? Bapak inget kan kita mau outing bulan depan?"

"Yaampun..." Gue bener-bener baru ingat kalau Sales & Marketing punya rencana outing  ke Malang. "Oke. Saya usahain kasus ini cepet selesai supaya saya bisa bebas, tapi kamu bantuin saya ya?"

"Bantuin apa, Pak?"

"Jadi saksi."

Aska langsung menjentikkan jarinya. "Nah, bener tuh. Lo jadi saksi aja Son, eh, Nya, eh apa sih panggilnya? Ya pokoknya itu deh, lo bikin kesaksian kalau Pak Reksa nggak keluar ruangan sama sekali, sekalian bawa bukti apa kek."

"Hmm..." Sonya keliatan sibuk berpikir, cuma ada dua kemungkinan terkait apa yang dia pikirkan yakni satu, gimana caranya memberi kesaksian, atau dua, bukti apa yang bisa dia bawa. "Oke deh!"

"Oke apa?" Tanya gue dan Aska bersamaan.

"Oke, saya siapin buktinya."

Syukurlah, Sonya kali ini cepat tanggap. Baru aja gue mau memuji tangan kanan gue tersebut, tiba-tiba suara Mario muncul dari belakang. "Sonya."

"Eh, Mar!"

"Sini kamu."

"Wow..." Aska mencibir setengah berbisik dari balik kubikelnya. "Galak abis."

Sonya sendiri cuma memperlihatkan wajah bingung sebelum kemudian mengangguk dan berjalan ke arah Mario.

Tadinya gue mau membiarkan situasi itu lewat begitu aja karena sebelumnya gue udah sering lihat Mario being all possessive around his girlfriend. Tapi waktu tiba-tiba gue menangkap kilatan mata Mario yang mengarah tepat ke gue, gue langsung merasa ada hal lain yang perlu gue diskusikan bareng Aska dan beberapa orang lainnya.

InsentientTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang