Axel si Moodboster

Mulai dari awal
                                    

Apa hanya Ana di sini yang menyayangi kalian dalam diam? Taukah kalian ada anak perempuan kalian di sini? Apa dia transparan sampai kalian tidak bisa melihatnya?

Sudah belasan goresan yang bersemayam di pundaknya. Darah telah mengalir deras dan dia tak memperdulikannya sama sekali.

Ana memang tidak pantas untuk kalian cintai? Apa dia kurang membanggakan kalian? Baik, jika itu keinginan kalian, dia akan berhenti. Cukup sampai di sini. Ana sudah lelah dengan semuanya.

Satu goresan lagi, cukup dalam sehingga dapat mengeluarkan darah yang lumayan deras. Bahkan, cairan merah kental itu menjalar melewati punggung dan perutnya. Ini tidak sakit. Namun sebaliknya, Ana tersenyum.

Mungkin ini akhir dari semuanya. Ana berharap. Jika bukan, dia akan menjadi dirinya yang berbeda dari sebelumnya. Membangun benteng yang tinggi dan tebal sehingga tak ada seorangpun yang mampu menerobosnya.

***
Ana membuka mata dengan perlahan, masih menyesuaikan matanya dengan sinar yang menerobos masuk tanpa permisi. Ruangan putih ini, dia kembali lagi ke tempat ini. Tempat yang paling dia hindari. Tempat yang memiliki banyak kenangan. Rumah sakit.

Ana melihat kesegala arah dan menghela napas lelah. Ia sendiri. Ia ingin menangis saat ini juga, bahkan di saat ia sakit tak ada seorangpun yang menjaganya, setidaknya menunggunya hingga membuka mata.

Inikah yang dinamakan keluarga? Sungguh, ia mulai tak tahan dengan semua ini. Ia mulai lelah. Lelah untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya demi sebuah pengakuan.

Ya, Ana hanya ingin diakui. Apakah tak boleh ia menginginkan seperti itu?

Kak Radit memang sosok yang dipuja banyak orang, sosok yang paling dibanggakan Papa dan Mama di saat perkumpulan keluarga besar. Dengan bangganya mereka memperkenalkan Kak Radit yang saat itu sudah kuliah di Oxford University dan nilai IPK yang selalu sempurna, bahkan paling kecil hanya 3.75 pintar? Jelas, karena itu kedua orangtua mereka selalu membanggakan Kak Radit dan selalu mengacuhkan Ana.

"Jadi, ini yang namanya Radit?"

"Wah, IPK mu 4.0 tahun ini? Pintar sekali."

"Pasti kedua Orangtuamu bangga punya anak cerdas sepertimu."

"Aku sebagai om mu saja bangga, apalagi kedua Orangtuamu ya."

Itulah yang selalu diucapkan oleh keluarga besar Ana tiap kali ada pertemuan seperti ini. Ana hanya datang dan duduk di sudut ruangan dengan makanan dan minuman yang menemaninya.

Semua orang memandangnya dengan sinis saat melihat Ana berjalan bersisian dengan keluarganya ataupun saat Ana berjalan sendirian di tengah keramaian ruangan.

Ana selalu ingat, setiap ia mengasingkan diri di sudut ruangan, Kak Radit selalu menghampirinya dengan senyuman secerah matahari dan mengacak rambut Ana dengan gemas lalu ia ikut bersamanya di sana.

Ia mampu mengubah hari Ana yang muram dengan segala tingkah lakunya sehingga hari yang buruk itu menjadi hari yang sangat cerah bagi Ana.

"Kamu cantik, kenapa tidak ikut di luar dan memamerkan pesonamu?" goda Kak Radit seraya mencolek dagu Ana dengan senyuman menggoda andalannya.

"Kak Radit bisa aja," balasku dengan senyum malu-malu. "Kenapa kakak di sini? Nanti di cari lagi."

"Kalau adik aku yang cantik ini gak nyaman di tengah keramaian, maka aku akan menemani dirinya di sudut ruangan setiap ada pertemuan keluarga seperti ini."

DylanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang