"Jadi gini Mba, rumah kacanya dia design berbentuk Quonset, bentuk melengkung seperti kubah." Mada menjelaskan sambil menggerak-gerakkan tangannya. "Dengan bentuk begini paparan sinar mataharinya tidak akan langsung sekaligus mengenai tanaman, dia akan perlahan berputar dan bergantian seperti paparan matahari ke bumi. Bentuk begini juga hemat biaya, dan lagi atapnya tidak harus menggunakan kaca, cukup dengan polietilen yang tahan terhadap sinar UV. Aku masih harus diskusiin sama mas rey sih, enaknya pakai kaca atau polietilen," Jelasnya menggebu-gebu.

"Oke... Mbak masih nggak ngerti," aku tersenyum meminta maaf.

Mada menggeleng putus asa, kemudian mendesah lagi sebelum kemudian berkata "Sepupunya Mas Rey kapan balik Mbak?"

"Lusa harusnya," aku mengingat-ingat pembicaraanku dengan Rey kemarin tentang kepulangan Nara. Aku hanya beberapa kali bertemu dengannya dulu dan kesan yang aku dapatkan tentangnya tidak terlalu baik. Dia pendiam dan tak banyak bicara, malah terkesan tidak ramah. Tapi siapa tahu dia sudah berubah, "Sepupunya udah lama tinggal di luar negeri, lulus SMA dia langsung pergi melanjutkan kuliahnya di London. Seumuran kamu kayaknya. Namanya, Nar...."

"Mama...mama..." Si kembar berlari kearahku. Seketika aku mengalihkan perhatianku pada mereka. Dari sudut mataku, aku melihat Mada langsung membereskann kertas-kertas yang berantakan di atas meja.

"Anak mama udah pulang, gimana sekolahnya, seru?"

"Seru!! tadi aku sama Luys belajar bikin pesawat, kodok, angsa, ..." mereka mulai bercerita. Bersemangat dengan hal-hal baru yang mereka kerjakan. "Kata Miss, nanti kita boleh minta bantuan Papa dan Mama buat rangkai semuanya, dikumpulnya masih lama kok Ma, jadi nggak buru-buru." Aku mendengarkan mereka penuh perhatian, sesekali mereka meloncat-loncat di pangkuanku.

Cukup lama aku mendengarkan mereka, sebelum sakit kepala yang sejak kemarin sering menerjangku kembali muncul. Mungkin karena terlalu lelah atau karena kurang istirahat, akhir-akhir ini mataku sering berkunang-kunang, kliyengan. Apalagi kalau terlalu lama berdiri, pandanganku yang jernih bisa langsung berubah kabur, kepalaku kadang sakit tak terduga.

"Terus Ma, aku sama Luys boleh bikin banyak nanti dikumpulin di botol----" suara mereka sudah mulai tak terdengar jelas, hanya berdengung di telingaku.

"Mbak..." Mada menyentuh lenganku lembut, aku menoleh dan samar-samar melihat wajahnya yang khawatir. "Mbak pucat banget." Lanjutnya.

"Hah?"

"Mbak pucat banget, sakit?"

Aku menggeleng tenang, lalu tersenyum kecil padanya. "Sakit kepala."

"Istirahat gih, biar aku yang jaga anak-anak. Mau dibuatin teh hangat?"

"Boleh," jawabku parau.

Si Kembar menatapku khawatir, tangan keduanya membelai pipiku lembut bergantian. Lalu bertanya apa yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi rasa sakitku. Aku lupa, mereka bisa sangat perhatian dan mengkawatirkanku kalau mereka mau. Kemanjaan mereka langsung lenyap, ketika melihatku sedang sakit atau sedih. Butuh waktu lumayan lama untuk membujuk mereka agar pergi bersama Mada dan jangan terlalu mengkhawatirkanku. Mereka baru mau pergi begitu aku bilang aku butuh istirahat.

*****

Perlahan aku membuka mata, mengerjap bingung menatap sinar matahari sore yang menembus kaca. Sinarnya hangat mengenai kulit wajahku. Kepalaku masih sakit, dan entah kenapa terasa begitu berat, perutku juga tidak enak. Pikiran buruk menghantuiku, apa aku salah makan. Aku mencoba mengingat apa saja yang telah aku makan hari ini, setelah mengingat semuanya dan menemukan tidak ada yang salah dengan apa yang aku makan aku menghembuskan nafas lega. Aku hanya kurang istirahat. Akhir-akhirnya ini aku memang terlalu sibuk.

ReconciliationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang