Lost

25 3 3
                                    

5 tahun lalu, 3 Juni 2012

Aku melihat ibu, satu-satunya orang tua yang aku punya karena ayahku meninggal saat ibu melahirkan aku, terbaring lemah setelah berbagai perjuangan keras saat melahirkan adikku. Aku yang saat itu masih kelas 6 SD dan belum tahu menahu soal resiko persalinan hanya bisa menatap bingung ibu yang terbaring lemah dari luar jendela kamar bersalin

"Ada keluarga Ny. Minamoto di sini?"

Mendengar nama margaku terpanggil, aku langsung beranjak dari tempatku berdiri dan menghampiri bidan yang menangani persalinan ibuku.

"Ibumu collapse, tapi bayinya selamat."

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud perempuan paruh baya berkaca mata tersebut. Bidan itu kembali masuk ke dalam dan aku membuntutinya dari belakang.

Bidan itu membawaku pada ranjang ibuku.

Darahnya banyak sekali!

"Ibumu kehilangan banyak darah ketika proses persalinan. Saat ini kami sedang menunggu pasokan darah untuk ibumu. Golongan darahnya apa?" Tanya bidan itu.

"AB." Jawabku singkat. Mataku menatap nanar tubuh ibuku yang memucat.

"Baiklah, akan kami usahakan secepatnya. Sementara ibumu akan dipindahkan ke ruang ICU." Ujar bidan itu seraya membawaku keluar ruangan.

"Adikku di mana, Suster?" Tanyaku saat berada di luar ruangan bersalin tersebut.

Bidan itu tersenyum, "Mari, saya tunjukkan."

Beliau membawaku ke ruangan tempat bayi yang baru lahir dibersihkan. Kulihat, wajahnya sama semua, berkeriput. Aku bertanya lagi pada perempuan paruh baya yang sedang berdiri di sampingku ini, "Adikku yang mana, Suster? Kok, mukanya sama semua?"

Beliau hanya tertawa sambil menunjuk ke pojok ruangan, "Itu, masih dibersihkan."

Kulihat lamat-lamat adikku yang baru lahir itu.

"Perempuan."Gumamku singkat tanpa melepaskan pandanganku.

Bidan itu tersenyum lembut, yang pastinya tidak dapat kulihat karena pandanganku masih terfokus pada adikku yang baru lahir itu. "Cantik, ya?"

Aku hanya mengangguk tak mengerti. Lalu kualihkan pandanganku untuk menatap bidan paruh baya bermata empat tersebut. Kulihat raut wajahnya yang sedih, tapi dipaksakannya untuk tersenyum.

"Ada apa, Suster? Kok sedih?" Tanyaku polos.

Mata yang teduh itu menatapku nanar, tapi masih dalam senyum. Lalu kata-kata yang ia keluarkan selanjutnya bagaikan halilintar menyambar.










"Adikmu autis, Hikari-chan."

-o0o-

Bunyi panggilan darurat membuyarkan lamunanku yang masih shock dengan kenyataan bahwa aku punya adik pengidap autis. Datangnya dari kamar ICU! Aku dan bidan itu bergegas menuju ruangan tempat ibuku terbaring lemah.

Pandanganku sekilas terarah pada mesin pengukur detak jantung yang entah sejak kapan terpasang di situ, lalu kualihkan pandangan pada bidan yang wajahnya mulai memucat itu.

"PANGGIL BANTUAN!!! CEPAT!!! BANTU AKU MEMACU DETAK JANTUNGNYA!!!" Seru perempuan itu pada bidan lain dengan panik. Disusul banyaknya bidan yang masuk dengan membawa alat pacu jantung. Mereka mengatur alat tersebut sedemikian rupa dan mulai memacu jantung ibuku hingga badannya bergetar hebat.

"I... Itu ibuku diapakan, Suster...?" Tanyaku ketakutan. Yang ditanya malah menjawab dengan helaan napas gusar, lalu menuntunku keluar ruangan. Lalu ia berseru lagi pada bidan lain, "MANA PASOKAN DARAHNYA!? MASIH BELUM SAMPAI JUGA???"

Aku yang sudah terlanjur ketakutan hanya bisa memeluk diriku sendiri dan berharap dalam hati supaya ibuku baik-baik saja.

Pintu ruang ICU terbuka dan para bidan yang menangani ibuku pun keluar. Salah satu dari para bidan itu, yakni bidan muda yang usianya sekitar 24-25 tahun itu berlari menemui bidan paruh baya berkaca mata yang tadi menemaniku saat melihat ibu dan adikku. Mereka terlihat serius dalam percakapan tersebut.

Raut wajah teduh tetapi penuh kepanikan itu berubah pias, lalu sedih.

Melihat hal itu, aku yang panik karena punya firasat buruk pun segera bangkit dari bangku tempatku menunggu ibuku dan melongok ke dalam ruang ICU lewat jendela.

Tampak ibuku sedang terbaring tenang, tetapi tubuhnya semakin lemah dan kulitnya semakit pucat.

Tepat saat itu, suara langkah kaki menghampiriku.

"Masuklah, nak. Ibumu mau berbicara padamu." Kata bidan paruh baya itu. Aku menuruti kata-katanya dan menemui ibuku yang semakin melemah.

Selagi aku masuk, bidan paruh baya itu pergi entah ke mana.

Aku mendekati ranjang ibuku dengan langkah hati-hati agar tidak mengganggu pasien lain. Begitu suara langkah kakiku terdengar, mata ibuku pun terbuka.

Mata yang biasanya menyejukkan hati itu terlihat sayu saat ini.

Ibu tersenyum saat melihatku, lalu bertanya lemah, "Mana... anakku... yang lain...?"

Aku terdiam, tak mampu menjawab sampai akhirnya bidan paruh baya itu datang membawa bayi yang kuperkirakan adalah adikku.

Senyum ibu terkembang sempurna ketika matanya bertemu dengan sosok adikku sampai air matanya mengalir. Lalu ibuku meraih tubuh adikku yang masih lemah itu dari gendongan bidan di sampingku ini dan memeluknya erat. Air matanya semakin mengalir deras.

"Ah, aku sudah melihat langit dan cahayaku. Suatu saat nanti mereka akan jadi harapan dunia." Ucap ibuku sambil menciumi adikku, membuatnya menggeliat lucu. Tanpa sadar, air mataku menetes.

Lalu tatapan ibu beralih padaku. "Hikari." Panggilnya sambil bersusah payah meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku mencondongkan badanku mendekati ranjang ibu dan mencium keningnya. "Ibu istirahatlah, ibu kan baru melahirkan, jangan banyak gerak dulu."

Ibu menggeleng lemah sambil tersenyum. Lalu berbisik di telingaku, "Tolong jaga Sora, ya."

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud ibu, tapi aku mengangguk saja. Ibu tersenyum lemah lagi sebelum akhirnya menutup matanya.

Bidan yang sedari tadi berada di dekatku pun menangis sesegukan saat mengambil adikku dari gendongan ibu, lalu ia memberikannya padaku sambil mengatakan...













"Ibumu sudah tiada, nak."

-o0o-

Please leave vote and comment! ☆
Feel free to criticize my story! ☆
Thanks for reading!♡

A Letter for SoraWhere stories live. Discover now