“Kalau begitu larang aku bertemu dengannya,” kata Rey sambil menyentuh pipiku. “Kejora,” aku menggeleng, namun gerakanku terhenti oleh telapak tangan Rey yang mengunci wajahku kuat. “Kalau kamu nggak suka aku bertemu dengannya, larang aku. Kamu tahu kamu bisa melakukannya.”

“Aku tahu,” Rey mendesah pelan selagi mengalihkan tatapannya dariku. “Tapi aku ingin kamu menyelesaikan masalahmu dengannya. Kamu perlu bicara dengannya, pergilah temui dia.”  Lanjutku.

*****

Ini adalah dua puluh menit terlama dalam hidupku. Sungguh. Aku menghitung tiap detiknya dengan seksama, dengan kegelisahan dan ketakutan yang luar biasa. Sebagian diriku memberontak agar aku bergabung bersama Rey dan Laura mendengarkan apa yang mereka bicarakan, sebagian yang lain menyuruhku tetap diam  menunggu.  Akhirnya aku memilih menunggu. Ini aku anggap sebagai pilihan yang tepat.

Tak lama Mada dan Si Kembar masuk ke kamarku, keringat bercucuran di wajah mereka. Tatapan Mada yang terlihat begitu pasrah membuatku mau tak mau tertawa.

“Nggak lagi-lagi aku ditinggal sendiri bareng mereka. Capek, nggak mau diam, lari kesana kemari, apa aja ditanyain. Nggak bisa aku pegang Mbak, nyerah aku.” Aku menepuk bahu Mada dramatis, berpura-pura turut menyesal dia harus mengalami semua ini. Mada tentu saja tahu, kalau aku hanya menggodanya. “Udah deh Mbak kalau mau ketawa, ketawa aja.”

Aku menurut, tertawa terbahak-bahak hingga airmataku keluar.

“Sekarang mereka udah mendingan kok, masih mau mendengarkan. Dulu…” aku menggeleng “Mbak  kadang sering nangis saking nggak kuatnya.”

“Ma… ada Tante Laura di depan sama Papa,” lapor Luys. “Nangis Tante Lauranya. Kasihan deh.”

“Siapa sih Mbak dia?”

“Teman Rey.”

“Oh… mesra banget.” Aku tersenyum kikuk. “Kalau nggak ada Opa di dekat mereka aku pasti bakalan mikir macem-macem.”

“Opa di sana?” tanyaku penasaran.

“Iya, tapi di halaman samping. Mereka duduk di ruang tamu. Tapi, aku kayak kenal dia deh Mba, sering lihat gitu. Artis yah?”

“Model.”

“Ohhh… iya-iya aku ingat, dia pernah jadi cover vanity kalau nggak salah.  Sering manggung di fashion week? New York, Milan?

“Paris, London.”

“Pantesan, wah keren Mas Rey. Kemarin pas Kak Dipta cerita aku agak nggak percaya sih, tapi benaran yah  Mas Rey memang bukan orang sembarangan.”

“Dipta cerita apa?”

“Nggak banyak,” Mada mengedikkan bahunya malas.

Biasanya aku akan sangat penasaran jika ada cerita yang belum selesai, apalagi kalau cerita itu berhubungan dengan orang yang aku kenal, informasi apapun tidak akan aku abaikan. Melihat tanggapanku yang tanpa minat, Mada mendekatkan kepalanya padaku.

“Mba nggak penasaran?”

“Apa?”

“Kak Dipta ngomong apa,”

“Penasaran, tapi Mba lagi malas dengerin.”

“Hishh… nggak seru. Gosip itu nggak boleh berlalu begitu saja. Harus kita kupas tuntas.”

Mada menunggu dengan wajah semangat, namun aku tetap memilih tak berminat pada gosipnya membuat raut wajahnya berubah kesal.

“Keluarga Kak Dipta punya jaringan rumah sakit, salah satu jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia. Punya pabrik obat juga,”

ReconciliationWhere stories live. Discover now