____________________________________________________________
http://ebooksters.blogspot.com/2010/04/wiro-sableng-maut-bernyanyi-di.html
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
KARYA: BASTIAN TITO
MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN
SATU
Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang
dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup
pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar
di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan
hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.
Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti!
Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping.
Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke
arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya
kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini
menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!....
Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahu-
tahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya
semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah
ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes
cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon
tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!
Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum
juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal
jelas dekat sekali kedengarannya.
Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua
matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke
langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon
tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebar-lebar dan
lebat.
"Manusia di atas pohon!," bentak pemuda itu: "Kalau berani buka urusan, berani unjuk
diri!" Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum
angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan.
Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke