10

75 14 0
                                    

Nggak ada yang lebih buruk daripada nggak bisa mengingat sesuatu.

Niluh bisa membayangkan itu. Biasanya, ketika ia lupa menaruh sesuatu dan ia bersusah payah mengingatnya, hal itu saja sudah membuatnya jengah bukan main. Tapi ini, bukan hanya barang, bukan hanya sebentar.

Melvin Priyanggoro memang nggak punya sensitivitas untuk menangkap apa yang dialami pelanggannya. Apa yang dibawa pelanggannya saat masuk ke kafe ini. Dan beberapa detik lalu, Niluh baru membuktikan kalau firasatnya benar.

Park Young-Gi nggak hanya iseng menatap jendela itu.

"Minum dulu," ujar Niluh sambil yang tanpa sadar sudah duduk di samping Young-Gi, bukan di hadapannya, berbatasan dengan meja. "Nggak apa," bisik Niluh sambil menepuk pundak Young-Gi, "Kamu udah berusaha dengan baik," ucapnya lagi.

"Nggak pernah sebaik yang kuharapkan. Nggak ada yang bisa kuingat tentangnya. Satu pun," ucapnya getir.

Niluh benar-benar nggak tahu harus mengatakan apa pada pria ini. Ia tahu hati pria ini tercabik-cabik, namun ia nggak berusaha untuk menampakannya. Di depan siapa pun.

"Nggak bisa ya kamu bertanya ke pamanmu?" tukas Niluh.

Young-Gi menggeleng getir.

"Perempuan itu pergi sebelum sempat kukenalkan ke siapa pun. Seingatku begitu. Dan aku—"

"Young-Gi si," panggil Niluh lirih, "Kamu tahu, kamu nggak bisa memaksakan kenanganmu kembali. Memaksakannya hanya seperti—menarik paksa bola dari dalam botol."

"Tapi aku harus mengingatnya," sergahnya pahit.

"Aku tahu. Tapi bagiku, kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri kalau terus memaksakan ini. Sesuatu yang pergi, kalau itu memang milikmu, pasti akan kembali," ucap Niluh tanpa dipikirkan lebih dulu.

Mudah sekali bicara begitu? Niluh rasanya ingin menariknya lagi. Ia mengatupkan bibirnya kemudian menggeser posisi duduknya.

"Memaksakan kehendak hanya akan membuat dirimu tersiksa, Young-Gi si," kata Niluh lirih. "Menatapi jendela ini nggak berarti bisa membuat kenanganmu dengannya kembali. Percaya, deh."

"Ara," jawab Young-Gi dengan suara pelan. "Tapi di sini terakhir kali aku ketemu dengannya. Memoriku hanya terekam sampai sana. Sisanya pecah, berkeping-keping bersama kecelakaan itu," mata Young-Gi mulai merah.

Niluh tahu pria ini nggak tahan lagi. Sesuatu di dirinya yang ia tekan selama ini membuncah parah.

Dia bahkan nggak ingat nama cewek itu. Cewek yang pernah begitu dicintainya, pikir Niluh.

Nggak ada yang lebih menyiksa dibanding perasaan yang tertinggal tanpa kenangan untuk dijejaki.

"Aku nggak tahu, bahwa ada hal yang lebih mudah daripada menghancurkan sebuah hubungan," bisik Young-Gi lagi, "Memori itu luluh lantak hanya dalam satu hari—lewat kecelakaan," ia menoleh pada Niluh saat mengatakan itu.

Niluh kehabisan kata-kata. Hati Park Young-Gi, pria asing yang sering dilihatnya belakangan ini benar-benar sudah nggak berbentuk lagi. Dan Niluh tahu itu.

"Young-Gi si," ujarnya. Suaranya tiba-tiba nggak lagi meredup. "Kamu nggak merasa bosan ada di sini terus?"

Young-Gi mengerutkan dahinya.

"Aku rasa, kita sama-sama lagi butuh udara segar, deh. Dan udara segar nggak bisa kita dapatkan di dalam ruangan, kan?"

Niluh bangkit dari posisinya, beranjak ke tempat duduknya, dan mengemasi barang-barangnya.

"Maksudnya?"

"Kita coba sembuhkan semua ini perlahan. Gimana?" Niluh mengulurkan tangannya ke hadapan Young-Gi.

"Aku nggak mengerti," jawab pria itu sambil menatapi tangan Niluh risi.

"Udahlah, intinya sekarang aku akan ajak kamu pergi. Bertahun-tahun kamu coba cari kepingan memorimu di balik jendela ini. Kamu nggak menyangka, siapa tahu kepingan itu justru ada di luar sana?" Niluh masih mengulurkan tangannya ke hadapan Young-Gi.

"Ini udah malam."

"Karena ini udah malam dan acaranya memang malam, ayo."

Seolah nggak peduli dengan tatapan pengunjung kafe, Niluh masih berdiri di posisinya, memajang senyuman tipis di wajah lelahnya.

Sejenak Young-Gi merasa nggak yakin. Namun kemudian ia meraih ponsel di meja dan beranjak menyambut uluran tangan Niluh.

"Kita sama-sama butuh udara segar," ujarnya riang sambil meraih topi baseball di meja, berjinjit, dan mengenakannya ke kepala Young-Gi.

🌃

A Dust In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now