Tepat setelah kedua gadis itu pergi membawa Lidya, Shania melangkahkan kakinya, hendak pulang karena memang waktu sudah menunjukkan sore hari. Dengan ragu Shania melangkah kearah Utara dimana desa ia tinggal berada disana.

.
.
.

Lidya kini membuka kedua matanya, ia terkejut ketika melihat dirinya sendiri di balik sebuah cermin. Lampu penerangan yang hanya terbuat dari sebuah bohlam kecil membuatnya susah untuk mengenali keadaan sekitar.

"Hei, ada orang?!" Tanyanya

Tak ada yang menjawab. Sepertinya ia benar-benar sendirian disini. Dua gadis yang membawanya kini datang dari arah depan, Lidya tentu saja tak menyadarinya karena kondisi sekitar yang memang gelap itu.

Kedua gadis tadi melepas hoodie mereka, kemudian memandang tajam kearah Lidya. Satu dari mereka membawa sebuah cairan berwarna ungu yang sudah berada di dalam sebuah suntikan medis. Lidya melihat pantulan cahaya yang terlihat di jarum tadi kemudian tertegun sejenak.

"Siapa kau dan mau apa kau padaku?!"

Gadis si pembawa jarum suntik tadi maju kearah Lidya. Ia tersenyum ramah kemudian mengangkat kedua bahunya. "Kau tentu mengetahui siapa kami, dan sekarang aku dan temanku mau kau menjadi teman kami. Kau tak memiliki teman bukan?"

Lidya mengangguk kecil.

"Kalau begitu, ikutlah bersama kami. Kita bertiga akan menjadi teman selamanya," sambung gadis kedua.

Lidya pun pasrah. Ia memberikan lengan kirinya kearah gadis yang membawa suntikan tadi, tanpa ragu gadis itupun mulai menyuntik Lidya tepat di lengannya. Cairan aneh tadi itupun kini mengalir melalui jarum tajam tadi, Lidya sedikit terkejut dengan rasa sakitnya.

Saking terkejut, tiba-tiba semuanya kembali menggelap. Tidak bukan karena Lidya tak kuat menahan rasa sakit, melainkan di dalam cairan itu memang sengaja diberikan obat tidur agar Lidya mendapatkan hasil yang maksimal.

"Apa ini tak apa? Terlalu cepat untuknya berubah. Seharusnya kita sekap dia terlebih dahulu,"

Gadis yang satu berkomentar sementara temannya sedang menyuntikkan cairan hijau dengan jarum yang berbeda. Gadis si penyuntik itu menoleh kemudian tersenyum.

"Aku ingin tahu saja rasanya mendapatkan teman dari sifat aslinya,"

"Terserah sajalah,"

.
.
.

Keesokan harinya, latihan pemanah kembali diadakan. Jadwal memang 4 kali seminggu sesuai dengan perjanjian kepada seluruh anak didiknya. Sang guru mulai mengabsen semua peserta didik.

"Lidya Maulida Djuhandar?"

Hening. Tak ada satupun yang mengangkat tangan apalagi mengangkat suara.

"Kemana anak itu? Ada yang tahu?"

Lagi-lagi semuanya terdiam. Ve dan Shania memandang satu sama lain, lalu mengangkat bahu bersama-sama. Guru pun melanjutkan absensinya.

Hingga akhir pertemuan, tak ada tanda-tanda Lidya datang kesana. Guru yang sudah selama ini mengajar anak didiknya itu kini kebingungan, pasalnya Lidya tak pernah absen selama pelajarannya 3 tahun ini. Dan dirinya tahu kalau Lidya merupakan anak yang berbakat.

"Shania, Veranda. Kalian tidak tahu kemana Lidya?" Tanya guru tersebut.

"Tidak. Kemarin saya dan Shania segera masuk ke dalam castil untuk membersihkan diri dan kemudian Shania pulang,"

Simple Story : Devils Return!Место, где живут истории. Откройте их для себя