Wiro Sableng - Wasiat Sang Ratu

Mulai dari awal
                                    

Dua gadis anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan. Lengannya disilang satu sama lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang memancarkan sinar biru digerakkan. "Rrrttttttt!" Terjadilah satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis berputar menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali. Hanya saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak mampu menggerakkan tangannya sedikit pun. "Bawa dia ke bukit Batu Putih!" Ratu Duyung berikan perintah. Dua orang anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212. "Ratu," kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. "Aku tidak

bermaksud berbuat yang bukan_bukan. Apa lagi berani berlaku kurang ajar. Apa yang kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku untuk mencerna. Aku..." Ratu Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa Wiro meninggalkan tempat itu. Setelah melalui jalan cukup jauh dan berliku_liku mereka sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala. Wiro merasa tubunya seperti dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu terpentang sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali mengikat tubuhnya ke batu besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari. "Walah...! Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!" ujar Wiro. "Hemmmm...." Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia mulai tertawa_tawa. "Dasar manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!" kata Wiro dalam hati setengah merutuk. Wiro sandarkan pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat. Seorang gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di belakangnya. Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya masih tetap terikat tali bersinar biru. "Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya!" Seorang gadis anak buah Ratu Duyung berkata. * **

DUA

BARUsaja salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang itu beganti_ganti lalu berkata. "Menyesal aku telah menganggap kalian sebagai tamu_tamu terhormat. Ternyata kalian sama tak dapat dipercaya!" Wiro menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa Ketawa dan berbisik. "Sobatku Kerbau Bunting! Kau bilang dia menaruh hati padaku. Kau lihat sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!" Dewa Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian dia tertawa gelak_gelak. "Gendut gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!" damprat Wiro. "Sssst.... Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita tidak tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan orang_orang itu. Yang jelas kalau aku mati pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha... ha... ha!" "Enak saja kau bicara!" tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. "Ratu kalau aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka membebaskannya...." Para gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. "Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika aku tidak menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini...." "Ratu, kami menunggu perintahmu!" seorang gadis berkata ketika dilihatnya Ratu Duyung hanya tegak tak bergerak, menatap ke arah Wiro. "Hukuman apa yang harus kami jatuhkan terhadap dua orang ini?!" Ratu Duyung mendehem beberapa kali. Lalu berucap. "Orang bernama Dewa Ketawa telah berbuat dosa, melakukan kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka kawannya ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman cabut lidah selama tiga hari!" Dewa Ketawa...!" Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara keras pada Sang Ratu. "Ratu Duyung! Sudah kubilang kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya biar aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur hidup belum pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam selangit tembus!" Ucapan Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun sikapnya tetap tenang. Sebaliknya di samping terdengar suara Dewa Ketawa tertawa gelak_gelak. "Kerbau Bunting!" teriak Wiro. "Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah tertawa gelak_gelak!" Kau benar_benar sudah gila!" "Ah, hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!" jawab Dewa Ketawa lalu kembali tertawa terbahak_bahak. "Lakukan hukuman!" Ratu Duyung memberi perintah. Seorang gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih saja terus tertawa. "Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!" Wiro kembali berteriak. Kakek gendut itu berpaling padanya. "Kau sendiri apa sudah mencoba untuk bebaskan diri?!" balik bertanya Dewa Ketawa. Wiro jadi penasaran. Dia kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai tubuhnya basah oleh keringat ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali aneh yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi lemah. "He... he...! Bagaimana? Apa kau mampu?" Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa dan pencongkan hidungnya mengejek Wiro. "Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak ada gunanya. Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang masih bau pesing! Ha...ha...ha!" "Gendut sialan!" maki Wiro. "Lakukan hukuman!" Tiba_tiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk kedua kalinya. Dua orang gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa. "Dewa Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk tertawa sepuasmu!" kata Ratu Duyung pula. Kakek gendut itu pandangi sang Ratu sesaat. "Kau mau berbaik hati memberi kesempatan. Aku berterima kasih untuk itu," kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai tertawa. Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping kanan tiba_tiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka lebar. "Cabut lidahnya!" perintah Ratu Duyung. Gadis di sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut Dewa Ketawa yang terbuka lebar. Wiro merasa ngeri untuk menyaksikan. Dia membuang muka. "Kreeeeekk!" Tenguk Pendekar 212 merinding dingin mendengar suara itu. "Pasti lidahnya sudah dicabut....! Manusia_manusia ganas!" Perlahan_lahan Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah. Wiro memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah! Sewaktu Wiro berpaling ke kanan dia melihat seorang gadis anak buah Ratu Duyung tengah meletakkan sebuah benda merah panjang bergerak_gerak di atas baki kecil terbuat dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti mau muntah. "Sekarang giliran pemuda berkulit hitam!" Tiba_tiba terdengar suara Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng tersentak. "Ratu...!" serunya. "Kesalahan ada pada kedua matanya yang berani mengintip orang mandi. Butakan dua mata itu selama tiga hari!" "Ratu! Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!" Teriakan Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu Duyung yang bertubuh jangkung mendatanginya lalu menjentikkan tangannya. Serta merta sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis yang barusan menotok Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin sekali. Tapi hanya sesaat. Di lain kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada saat itu juga dia tidak melihat apa_apa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan. "Ya Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka mencungkil kedua mataku! Aku benar_benar buta!" Darah mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan rongga dalam dan besar mengerikan. Darah mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa gelak_gelak. Ketika berpaling ke samping dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di atas sebuah baki kecil dari kerang laut. "Gila! Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu...?" pikir Dewa Ketawa. Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang tua gendut ini jadi merinding. "Benar_benar gila! Seumur hidup rasa_rasanya baru sekali ini aku merinding ngeri!" Lebih_lebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang! Muka pemuda ini kini terpentang tanpa sepasang mata! "Dunia aneh...Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi... eh, apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku dicabut? Memang aku melihat ada darah mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap Sobatku Muda itu juga tidak merasa sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa! Hukuman gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka! Kalau aku nanti tak mampu tertawa lagi selama_lamanya akan kuobrak_abrik tempat ini! Akan kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis yang cantik_cantik itu? Ratu Duyung kau membuat aku betul_betul sengsara. Hidup tanpa tawa.... Rasanya lebih baik mati saja!" * **

Novel Wiro SablengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang