10

180 22 4
                                    

☀ | Sunny

Aku benci berjalan di malam musim panas. Angin terkadang menghembuskan udara yang aneh, membuatku meriang seperti mau demam. Aku tidak tahu pasti mengapa aku tidak menyukainya, terlebih di saat rasanya semua orang mencintai musim panas yang ceria. Yang aku ketahui hanyalah, ketidaksukaanku itu menambah panjang daftar hal-hal yang membuatku kerepotan melalui hidupku yang memang sudah rumit sejak lama.

Aku mengurungkan niatku untuk memakai jaket saat keluar rumah. Perpaduan chambray crop top berwarna biru tua dengan bahu yang terbuka dan celana denim pendek serta sneakers terasa amat nyaman di tubuhku. Itu keputusan yang tepat karena angin hangat hampir tidak berhembus walaupun langit masih terang benderang.

Aku berjalan melewati kerumunan anak-anak yang berpesta di rumah Joe untuk mencari Calvin di bagian rumah yang lebih dalam. Sebelum kesini, aku sudah menelepon Sherlock bahkan memberitahu Belle bahwa aku akan pergi ke pesta Joe. Tentu saja aku tidak bilang ke mereka kalau aku kesini untuk menemui Calvin. Aku tidak mau mereka berpikir kalau aku dan Calvin, um, memang ada sesuatu.

Hampir semua orang yang kutemui atau kebetulan berpapasan denganku di rumah itu melihatku dengan tatapan aneh --setengah jijik- tetapi aku mengabaikan mereka. Hal-hal seperti itu tidak pernah membebaniku. Aku bertaruh mereka sebenarnya paling takut dengan suasana hatiku yang terkenal merepotkan jika sudah berulah, jadi tidak ada satupun dari mereka yang berani bilang apa-apa --atau sekedar menyindirku-- secara langsung dan blakblakan sefrontal yang mereka lakukan di sosial media.

Ekspresi jengahku itu penyebabnya. Siapapun tidak mau berurusan denganku jika tampang begitu sudah kumunculkan. Hey, ini metode baru untuk mengistirahatkan wajah ramah; suka-pamer-senyum yang berpotensi membuatku keriput. Dan lagi, kurasa mereka masih sayang pada leher mereka. Mereka tentu tidak mau tendangan hapkido-ku melayang ke leher mereka, bukan?

Kembali ke Calvin, aku tidak menemukan anak itu di lantai dasar. Aku memutuskan untuk naik tangga menuju lantai atas yang sebenarnya sudah diberi tanda besar-besar bahwa itu adalah wilayah VVIP. Masa bodoh! Siapa Joe yang berani menolakku di pestanya? Aku akan menulis di blog-ku tentang betapa tidak menyenangkannya pesta yang dia buat kalau dia sampai berani menegurku karena memijakkan kaki di lantai VVIP-nya.

Ada sebuah meja besar di tengah-tengah ruangan dan aku berhasil menemukan Calvin disana, sedang menenggak segelas penuh bir. Aku mengernyitkan hidungku karena bau alkohol yang menyengat dan berjalan dengan hati-hati agar ceceran tortillas di lantai tidak mengotori sepatuku.

Calvin melihatku. Dia melambaikan tangan untuk mengajakku bergabung. Aku mendekat, tidak terlalu dekat dan menyisakan jarak yang jelas karena aku benci bau alkohol.

Calvin berdiri untuk menghampiriku. "Kukira kau tidak akan datang." Katanya.

"Aku bisa pulang lagi kalau kau mau." Gurauku.

Calvin tertawa lebar, baru saja memberiku pendapat bahwa dia sedikit mabuk.

Aku merasa tidak nyaman berada disini, jadi aku berkata, "bisa kita bicara di luar?"

Calvin menarik tangannya dari saku celana dan membuat gestur mempersilakan. Aku berjalan mendahuluinya, menuruni anak tangga kembali ke lantai bawah yang sekarang mulai riuh. Calvin mengarahkanku ke bagian kiri rumah luas itu menuju teras. Ada beberapa orang disana, bercumbu dan berciuman, tetapi begitu melihat kami datang, mereka segera membubarkan diri dan pergi ke tempat lain.

"Sepertinya semua orang takut padamu." Komentar Calvin.

Aku tertawa kecil sambil menyandarkan pinggangku ke susuran teras. "Tidak semua." Aku mengoreksinya. "Kau tidak takut padaku, bukan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang