I. Di balik Punggung Kekar Ren

17 4 0
                                    

Diamku di petang hari karena aku memang diam. Memandangmu dalam keterdiaman. Membuatku tahu sisi lain dari hal yang aku suka. Sederhananya memaknai kamu benar-benar ada di sebelahku. Membuatku nyaman.

••

•••

Hujan seharian turun. Malam ini hanya menyisakan embun dan sedikit gerimis. Anggrek memberikan pesan singkatnya kepada Muthia bahwa dia sudah bersiap-siap akan berada di gerbang belakang kampus sepuluh menit lagi. Muthia pun harus segera bergegas untuk berpamitan kepada Nasita yang sudah menampungnya setelah selesai kuliah sampai menjelang petang.

“Anggrek udah otw, aku pergi dulu. Jangan kangen!” Muthia pamit. Hanya dibalas anggukan sekadarnya oleh temannya itu. Muthia tahu, Nasita dalam kondisi yang kurang fit. Dia mengeluh badannya tidak enakan. Sebelum, Muthia keluar dari kamar kos Nasita, ponselnya berdering menampilkan satu pesan singkat. Dia sengaja tidak men-silence ponselnya, siapa tahu teman satu kelompoknya memberikan kabar. Bagas memberikan kabar bahwa dia sudah berada di tempat yang kami rencanakan untuk berkumpul. Belakang kampus.

‘Oke, I’ll be there for 5 minute.’

Jawab Muthia singkat lewat pesan.

“Diantar?” tanya Nasita menawarkan diri. Muthia hanya membalasnya dengan cengiran konyol. Dia tidak menawari karena dia ingin. Hanya sekedar berbasa-basi saja. Biasanya kalau ia pamit pulang, Nasita selalu mengantarkan sampai ke depan rumah. Dan beramah tamah supaya hati-hati di jalan.

“Hati-hati.” Ujarnya.

“He-em. Kau juga. Cepet sembuh!” pesan Muthia sebelum meninggalkan. “Jangan lupa bahagia!” tambahnya. Dengan diiringi seringai kecil.

Dibalas dengan tawa terkekehnya yang mirip Mak Lampir. Muthia melipir pergi lewat koridor samping yang sepi. Memang sedikit memutar, tapi aku merasa tidak enak dengan penghuni kos yang jam-jam sehabis maghrib seperti ini sedang melihat televisi di ruang tengah.

Kalau bukan demi Raden Kasuhunan Tundjung Sutirto, pilihan terbaik untuk hidup adalah setelah selesai kuliah, Muthia ingin cepat langsung pulang saja. Bukannya hujan-hujan dengan Nasita tadi sore dan malamnya melakukan wawancara. Dia mengabari kepada Anggrek, —teman klop satu kelompoknya yang selalu mengerti dia kapan pun dimana pun— bahwa dia merasa pusing akibat kena hujan sore tadi. Anggrek memahami dan mengatakan kalau wawancaranya memakan waktu yang lama, dia mempersilahkan Muthia untuk ijin pulang. Dia memang sahabat terbaik yang Muthia miliki.

Muthia sempat memperlambat gerak laju motornya. Keadaan sudah malam dan hujan gerimis enggan untuk berhenti, dia mengedarkan pandang mencari sosok Bagas yang—katanya— sudah menuggu di gerbang belakang Kampus. Ia hampir putus asa tidak menemukan, kalau saja dia tidak melihat ada ATM dan Bagas berteduh di sana seorang diri.

“Hei Gas, udah lama nunggu?” tanya Muthia menyapa. Dia tersentak kaget melihatku datang tiba-tiba dan mengagetkannya.

Bagas berjalan mendekati bangku beton tak jauh dari motor Muthia yang terparkir di depan ATM. “Baru saja Mut.” Jawabnya singkat.

“Seharian kau kemana? Aku nggak liat tampangmu di kampus tadi.” Ujar Muthia mencak-mencak. Dia sama sekali tidak melihat Bagas yang berada di kampus beberapa hari ini. Ia selalu ragu mempunyai anggota kelompok seperti dirinya. Kalau bukan gegara Anggrek yang kala itu sangat bersimpati padanya, karena setiap pembagian kelompok pasti Bagas terdepak dan tidak ada satu pun kelompok yang memilihnya, ia tidak mungkin berhadapan dengan Bagas saat ini. Terlalu banyak berorganisasi, mengesampingkan kuliah, anak-anak satu kelas lebih memilih mencari ‘aman’ dengan tidak memasukkan namanya ke dalam kelompok. Begitu pun dengan satu sosok yang kebanyakan ikut turnamen Basket Ren namanya, kasusnya hampir sama dengan Bagas. Bedanya hanya masalah yang satu sibuk organisasi yang satunya sibuk bermain basket.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bualan Mimpi Tentang KamuWhere stories live. Discover now