"Mau apa kamu?" Tanyanya dengan tidak basa-basi.

Aku berdiri, karena mas Swarna memang terlihat tidak ingin duduk dengan tenang setelah melihat wajahku kembali lagi menghiasi harinya hari ini.

"Saya mau minta maaf atas kejadian kemarin, saya merasa bersalah. Maafkan saya ya Mas.." ucapku sambil mengulurkan tanganku dengan tujuan untuk berjabat tangan.

Dan dia hanya diam, tidak ingin bergerak sedikit pun menyambut tanganku yang sudah mulai pegal ini.

"Kamu bener putrinya tante Asri? Umur berapa sih kamu?"

Dengan malu, aku turunkan tanganku dan memilih menjawab pertanyaannya. "Iya, Mas. Saya baru lulus SMA."

Dia terdengar mendengus. "Pantas."

Aku pura-pura tidak mendengar perkataannya yang seperti meremehkan itu. Sewajarnya seorang Ranti pasti tidak tahan bila diperlakukan begitu, tapi ada rasa ingin tahu yang begitu dalam sehingga mendorongku untuk tetap sabar menghadapinya.

"Jadi..saya dimaafkan kan Mas?" Kali ini pertanyaanku terdengar sedikit tegas.

"Saya sebenarnya tidak berniat memaafkan kamu. Karena saya lihat kamu ini anaknya ekstrim, saya takut nanti-nanti kamu akan selalu mencari kesempatan untuk bertemu dan mendekati saya. Sekarang ini termasuk salah satu caramu kan untuk dekat dengan saya?"

Deg!

"...saya juga sudah bilang. Saya ini pria yang sudah menikah dan kamu ini masih anak-anak, apa wajar seperti itu? Perjalananmu masih panjang, lebih baik sekarang kamu pulang, selesaikan urusanmu. Anggap saja saya sudah memaafkan kamu. Permisi."

Percaya diri banget?? Tapi apa kentara sekali cara pandangku ke dia? Memang seperti apa?

"E-eh, Mas, tunggu-tunggu. Sebentar." Cegahku secepat mungkin agar mas Swarna tidak pergi meninggalkanku sendiri dengan berjuta umpatan yang sudah kusimpan dalam otakku.

"Sepertinya Mas salah paham. Saya ini nggak ada maksud apa-apa, apalagi itu.....apa? Mau mendekati mas Swarna? Memangnya saya ini kelihatan seperti penggemar bapak-bapak??"

"Siapa yang kamu maksud dengan bapak-bapak?" Tanyanya balik seperti tidak terima.

"Menurut Mas siapa? Mas sendiri yang kelihatan meremehkan anak lulusan SMA macem saya, bilang masih anak-anak lah."

"Lho? Salah saya dimana? Baru lulus sekolah kan? Bukan lulus kuliah? Wajar lah saya bilang kamu anak-anak."

"Ih! Terserah lah. Tapi saya nggak terima Mas bilang gitu ke saya. Minta maaf nggak??"

"Kenapa jadi saya yang disuruh minta maaf? Benar kan? Anak seperti kamu ini bikin susah, malah minta macam-macam. Sudah kamu pergi sana."

"E-eh tunggu, sebentar, urusan kita belum selesai Mas, Mas! Mas Swarna!" Teriakku dengan lantang untuk menghalau mas Swarna agak tidak pergi secepat itu.

Tetapi nihil. Mas Swarna sudah hilang ditelan pintu gerbang besar di hadapanku itu. Tidak mungkin aku asal masuk ke tempat yang bukan wilayahku. Ruang tunggu ini sepi, bahkan tante Leli juga tidak kunjung kembali, hanya terdapat beberapa abdi dalem yang memang tugasnya berdiam diri.

Aku duduk kembali di kursi yang telah disediakan. Memutar otak, tidak terima dengan perlakuan kejam mas Swarna. Bisa-bisanya dia bicara begitu di hadapanku. Dosa apa aku harus bertemu orang macam dia.

Sayup-sayup kudengar suara dua orang, yang mendekati ke arah ruang tunggu. Aku langsung memperhatikan dua orang tersebut, salah seorang pria paruh baya melihat keberadaanku dan kemudian mendatangiku.

"Mau bertemu siapa, mbak?"

Aku bingung, ini siapa? Dan aku harus jawab apa?

"Ehm..itu..mau..saya mau ketemu mas Swarna, Pak."

Entah di bagian mana jawabanku ada yang keliru, setelah itu, pria yang menanyaiku tersebut melihatku dengan seksama. Seperti meneliti.

"Ooh.. sebentar ya, dipanggilkan. Monggo, mbak duduk dulu, monggo." Pria berwibawa separuh baya itu menemaniku duduk setelah mengutus pria yang satunya lagi untuk memanggil mas Swarna lagi. Mampus kamu Mas!

"Namanya siapa?"

"Saya Ranti, Bapak. Putrinya bu Asri Probonegari." Jawabku sambil salim ke Bapak sepuh di hadapanku ini

"Walah nduk.. kowe iki cucunya Probonegari? Pantas kok cantik. Kelas berapa kowe nduk?"

Aku tersenyum. Iyalah, cantik, Ranti gitu..

"Saya baru lulus, Pak. Lulus SMA."

"Panggil Om saja, Ibumu dulu temen kuliah Om, adik tingkat tapi dekat karena satu kehidupan..kehidupan Keraton maksudnya. He..he. Lalu, mau kuliah dimana?"

"Ooh.. Om temannya Ibu? Saya lanjut di Melbourne, Om. Dua tahun ke depan saya pindah disana." Jawabku semangat, karena ternyata Bapak ini familiar dengan keluargaku.

"Wah, sukses ya nduk. Nanti pasti banyak yang langsung melamarmu jadi istri kalau bisa cepat lulus kuliah. Sekarang perempuan harus pintar lebih dari orang tuanya, biar nanti keturunannya mencontoh. Om suka sama perempuan pintar seperti Ranti...."

Aku tersenyum lagi, sedikit malu tersipu dipuji seperti itu.

"Oh iya.. Mau bertemu Swarna ada apa, nduk?"

Aduh..cerita nggak ya. Cerita aja deh.

"Jadi gini om.. kemarin itu..."

Bla bla bla bla..

Lima menit aku berbicara panjang lebar atas kejadian kemarin. Secara lengkap dan detail. Bahkan sampai ke adegan aku melempar sandal selop yang akhirnya mengenai kepalanya. Kemudian, Om teman Ibu ini, malah tertawa terbahak-bahak seperti orang habis nonton ludruk.

Aduh, apa aku salah bicara ini?

"Sek toh..sek..Aduh..Om nggak kuat mau tertawa lagi. Sudah ya nduk, ceritanya nanti lagi. Dicicil. Kamu main dong kerumah Om. Rumah Om ada kafenya lho."

Aku meringis, serba salah, tapi sedikit enteng karena kewibawaan Bapak di depanku ini pada akhirnya tidak membuatku merasa terintimidasi, malah sebaliknya.

"Ini kok Swarna lama sekali dipanggil nggak datang-datang."

"Repot mungkin, Om. Kapan-kapan saya kesini lagi aja Om, siapa tahu marahnya sudah reda."

"Hmm..Swarna ya begitu anaknya. Susah diberitahu, sudah tua semakin tambah ngeyel."

"Begitu ya, Om?"

"Iya, beda jauh sama adiknya. Smara. Sudah ketemu?"

"Belum, Om."

"Ya nanti main kerumah Om ya, bilang sama Ibumu. Nanti Om kenalkan sama anak kedua Om itu.."

Anak kedua? Maksudnya? Smara? Anak kedua? Jadi mas Swarna..anaknya Om ini????

"Om ini Ayahnya mas Swarna??"

"Lho iya. Memang Om belum bilang tadi?"

Aku menggeleng, tidak habis pikir. Daritadi aku mengomel panjang lebar ternyata di hadapannya orang tua mas Swarna. Rasanya aku ingin pingsan saja Ya Tuhan.

My Sun (Dineshcara) [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora