1. Pertemuan

Mulai dari awal
                                    

"Anak ini bantu? Yang ada malah bikin repot kamu, Yu." Jawab mas Swarna dengan tidak sungkan sambil mengacungkan telunjuknya tepat di hadapan wajahku.

"Isshh!!" Kupukul lengan mas Swarna dengan kuat.

"Aduh! Apa sih, Ranti?!" Balasnya mengaduh.

Bodo amat! Aku menjulurkan lidah sembari menjauh dari tempat mas Swarna berdiri, supaya tidak ada lagi kontak fisik diantara kami.

Dalam hatiku, entah kenapa perasaan tidak terima itu masih ada. Setiap mas Swarna mengajakku berkelahi kecil seperti ini--yang aku sebenarnya senang--di sisi lain aku juga sedih. Karena seakan-akan dia tidak pernah mengharapkan adanya kehadiranku. Lalu, kenapa sampai saat ini perasaan itu masih ada? Bukannya aku sudah nggak suka sama pria tua ini?

"Mbak, kita langsung aja yuk, ke tempat-tempat acara ngecek peralatannya. Kelamaan disini bikin cepet tua nih kesel terus! Engghh!" Ucapku sambil berlalu meninggalkan mas Swarna dan adiknya, Mas Smara begitu saja tanpa berpamitan.

"Hati-hati, Yu! Jangan diajak jajan ke mall! Jajanannya sekali bisa habis sejuta, Yu! Nggak dibantu tapi malah bikin tekor!" Suara mas Swarna berteriak masih bisa terdengar olehku yang berjalan dengan penuh emosi.

Oke Mas, mungkin suatu kesalahan dulu aku pernah suka sama kamu, dasar pak Tua haus kasih sayang!!

***
*Flashback*

Tepatnya 2 tahun yang lalu sebelum keberangkatanku ke Melbourne, aku mulai sering dilibatkan dengan kegiatan Keraton. Pihak Ibu masih keturunan langsung dari Raja yang tidak lain adalah Eyang Kakungku, meskipun bukan Kerajaan besar seperti tetangga--di Solo ini--namun bila ada acara maupun kegiatan perhelatan Keraton pasti semua terlibat karena Kerajaan Eyangku itu masih terbilang aktif. Saat itu aku berkunjung ke Keraton Solo, ribuan ceramah sudah kuterima sebelumnya dari Ibu, karena sudah pasti aku menolak mentah-mentah mengikuti acara seperti itu. Lebih baik aku bersiap diri untuk menyiapkan mental tinggal di negeri orang. Nyatanya Ibuku tidak mau mendengar alasan klasik yang katanya kubuat-buat itu, terlebih lagi--parahnya--Ayah yang selalu menuruti keinginan Ibu, mendukungnya.

Ah sudahlah, aku tidak ingin mengingat masa-masa kelam itu. Masa dimana aku bertengkar hebat dengan Ibu, hanya karena aku tidak ingin mematuhi keinginannya terlibat dalam urusan Kerajaan dan lain-lainnya itu. Tidak memberikan manfaat juga untukku?

Aku anak tunggal, yang mungkin dari situlah membuat cara berpikirku agak keras dan tidak mudah diajak kompromi. Ingin selalu menang sendiri dan berusaha dengan kuat meraih apa yang kuinginkan. Oh..come on, manusia punya kekurangan dan kelebihan bukan?

Saat ini juga aku pergi--dengan terpaksa--ke acara perhelatan Kerajaan tetangga, tentu dengan rasa bosan yang akut seperti biasa, aku hanya bisa mengekori Ibuku kemana pun Ia beranjak untuk menyalami kerabatnya satu per satu, sampai tiba saatnya pandanganku terarah pada sesosok pria dewasa.

Pria dewasa itu hanya mengenakan setelan kemeja berwarna biru navy dan celana kain berwarna khaki disertai sepatu loafnya. Tentu saja dia tampan, belum lagi bentuk tubuhnya yang terbungkus rapi oleh kain pakaian, masih bisa terlihat jelas cetakan otot-otot prianya..

Aku memutar bola mataku sekilas, tidak habis pikir dengan apa yang telah melintasi pikiranku itu. Namun, yang terjadi kemudian, Ibu memperkenalkan aku dengan sebuah keluarga, yang nyatanya termasuk juga dengan pria tersebut.

Namanya Swarna. Gusti Raden Mas Swarna, salah seorang diantaranya ada yang menyahuti bahwa sebentar lagi gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Harya, karena kesibukannya di Keraton yang juga bertambah dan dia mulai diperhitungkan karena ikut terlibat banyak kegiatan di dalamnya.

My Sun (Dineshcara) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang