7. Her Pain

4 5 0
                                    

Joe dan Anja sedang menemani Vanessa yang masih terlelap akibat obat yang disuntikkan padanya. Curt sedang dalam perjalanan ke rumah sakit setelah menerima pesan duka tersebut. Anja memperhatikan penampilan Vanessa yang berantakan.

Mata bengkak, rambut kusut, hidung memerah serta beberapa luka lebam di pergelangan tangannya akibat aksi brutalnya tadi.

"Aku sangat prihatin melihatnya Joe" Kata Anja yang masih menandang Vanessa yang tertidur di ranjang rumah sakit. "Aku tak pernah melihatnya mengamuk seperti itu, itu seperti bukan Vanessa yang kita kenal. Tapi aku tak heran, jika kau kehilangan orang yang kita cintai lalu kita masih biasa-biasa saja berarti kita tak tulus mencintainya, walaupun kita harus merelakan tapi merelakan tak semudah itu, butuh waktu yang sangat lama untuk melupakan orang yang kita cintai" Lanjut Anja sambil mengelus rambut Vanessa.

"Mungkin jika aku berada di posisi Vanessa saat itu mungkin aku sudah membuat mereka patah tulang" Ujar Joe dengan candaan di akhir kalimat.

"Joe? Anja? Astaga ya ampun Vanesh!" Seru Curt yang baru datang. Dia lalu mengambil posisi di sebelah kanan Vanessa. Curt menatap iba Vanessa ketika melihat penampilan perempuan itu.

"Ini pasti sangat berat untuknya" Curt menggenggam tangan kanan Vanessa. Joe dan Anja mengangguk mengiyakan pernyataan Curt.

Kriiiiuuukkkk

Joe dan Curt langsung menandang Anja dengan alis terangkat. Anja lalu terkekeh sebagai balasan, "Aku lapar, aku daritadi belum makan hehehe" Anja lalu menaikkan jarinya keatas membentuk simbol peace.

"Kalian belum makan?" Tanya Curt yang mendapat gelengan dari keduanya. "Mendingan kalian cari makan dulu, aku akan menjaganya disini" Curt tersenyum hangat pada Joe dan Anja yang disetujui oleh keduanya.

Anja dan Joe memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit tersebut. Mereka makan dengan sangat terburu-buru. Setelah membungkus makanan untuk Curt karena mereka yakin pasti pria itu belum sehabis bekerja mereka lalu bergegas kembali ke ruang perawatan Vanessa. Ketika berada di depan kamar Vanessa mereka mendengar suara tangisan wanita, mereka lalu membuka pintu kamar dan tertegun melihat Vanessa yang menangis dalam dekapan Curt.

Anja dan Joe lalu menutup pintu itu kembali lalu duduk di bangku yang tersedia di sebelah pintu tersebut. "Biarlah mereka berdua dulu, ku rasa Curt bisa membuat Vanessa lebih tenang karena pasti dia tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah" Ucap Joe bijak. "Ya itu pilihan yang tepat" Balas Anja.

Setelah tidak lagi mendengar tangisan Vanessa mereka memasuki kamar Vanessa lagi. Vanessa menatap Curt sambil menggenggam tangan lelaki itu erat yang dibalas sama oleh Curt.

"Van...." Panggil Joe pelan. Vanessa lalu menoleh melihat Joe dan Anja yang berada di depan pintu. Mereka lalu mendekati Vanessa yang memandang mereka sendu. "Van.. kami sangat--" Vanessa lalu memeluk kedua temannya itu erat. Vanessa lalu tersenyum pada Anja dan Joe walau kesedihan tersebut masih terlihat di dalam matanya.

"Joe Ja, aku ingin melihat ayahku. Kumohon bawa aku kesana" pinta Vanessa sedih.

Curt lalu menggendong Vanessa menuju kursi roda yang di ambilkan oleh Anja. Mereka lalu menemani Vanessa menuju ruang jenazah ayahnya berada.

"Bisakah aku bicara berdua dengan ayahku saja?" Pinta Vanessa yang dituruti ketiganya.

                         ****

"Papa......" Ucap Vanessa ketika melihat wajah ayahnya yang pucat. Vanessa mengulurkan tangannya perlahan-lahan untuk mengelus wajah sang Ayah.

"Papa rasanya sangat sakit, rasanya seperti aku kehilangan semangat hidupku. Aku belum bisa membanggakanmu, kau bahkan belum melihatku membanggakanmu, aku sangat menyayangimu hingga aku sangat kesakitan ketika kehilanganmu dad," Vanessa menitihkan air matanya sedih.

 My Jo(e)urneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang