FILE 20 | USB

Mulai dari awal
                                        

"Kau jadi tahu kapan saja jadwalku ...?" Telanjur malu, aku ubah pertanyaannya.

"Begitulah." Dan itu telah menjawab segalanya.

Ugh. Mataku berpejam pasrah. Salahku. Salahku.

Ada tempat persembunyian, tidak? Aku ingin menghilang dari pandangan orang ini.

"Itu artinya, kau harus tinggal di rumah agar aman," lanjutnya. Terdengar bijaksana.

Kami berhenti di lapangan, sekitar dua puluh meter dari area parkir sekolah. Sejumlah murid masih terlihat di tangga dan di halaman gedung. Juga belum pulang.

Sesaat aku hampir beranjak meninggalkan Aiden, ia mendeham.

"Tidak ada pertanyaan lagi?"

Sejenak aku menggigit bibir.

"Ada."

"Tanyakan saja."

"Apa kau sering bertemu ayahmu?"

"Tidak."

"Oh." Aku mengangguk paham. Jelas terlihat ia malas membahasnya.

"Memang ada apa?"

"Aku punya saran yang mungkin bermanfaat bagi keberadaan lich beradab di antara manusia. Kupikir kau bisa menyampaikan hal itu kepada ayahmu." Terjeda. Aku merapikan rambutku sehabis diterpa angin, lalu menyelipkan sisinya ke belakang telinga. "Tapi, kalau kau tidak ingin mendengarnya, aku takkan mengatakan apa-apa."

"Katakan saja," imbuhnya langsung. "Apa itu?"

"Ide transfusi darah."

Kening Aiden mengernyit.

Heran. Ekspresi apa pun, cowok ini sama sekali tidak terlihat jelek. Terlebih dengan kacamatanya.

"Berhenti melakukan cara lama," jelasku pelan. "Maksudku, berhenti mengisap darah melalui mulut langsung. Tetapi lakukan seperti kegiatan donor darah. Menggunakan slang, dari tangan ke tangan. Itu takkan mencurigakan dan kami para manusia tidak perlu kehilangan nyawa atau berubah jadi lich primitif."

"Dahaga perlu minum, bukan infus," tukas Aiden.

"Kalian bukan dahaga. Kalian itu perlu nutrisi seperti manusia. Nutrisi tidak selalu masuk lewat tenggorokan--"

Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya. Napasnya menyapu wajahku.

Kulitku terasa bersemu hangat.

"A-apa?!" tanyaku ketus dan mundur. Mataku yang membelalak terpantul di lensa kacamatanya.

"Kau masih waras, kan?" Ia kembali menegakkan tubuh.

"Ya." Justru ia yang bersikap tidak jelas.

"Kau bicara seolah yang di depanmu ini bukan salah satu dari mereka," dengusnya. Kemudian ia sedikit menjauhiku, berkata lirih, "Aku berbahaya."

"Cara itu juga harus dicoba oleh para hibrida," timpalku dengan semangat berlebihan, seolah tidak mendengar peringatannya tadi.

"Hibrida tidak akan mempedulikan hal itu, Mackenzie. Hibrida selalu berbuat sesukanya."

"Tidak masalah. Buat saja peraturan mengikat seperti peraturan yang berlaku untuk golongan ayahmu."

"Lich beradab punya peraturan karena mereka punya sosok pemimpin." Suaranya menegang. "Dan mereka membuat kesepakatan dengan Pemburu. Sedangkan hibrida tidak punya."

"Kalau begitu, kau saja yang jadi pemimpinnya, Aiden."

Ia terdiam sebentar sebelum membuang muka, dan mengacak-acak rambutnya sendiri yang sejak awal memang sudah berantakan.

"Kau membuatku gila. Entah kau asal ucap atau serius. Itu semua mendadak jadi pikiranku."

"Tidak ada yang menyuruhmu memikirkannya."

"Apa kau tidak ingin pulang?" Ia mengingatkan--sekaligus menyudahi topik.

Otomatis aku memeriksa jam di ponsel.

"Atau kau punya pertanyaan baru?" tawarnya lagi.

Sikapnya sungguh aneh. Menyuruhku pulang atau tidak, sih?

"Kenapa kau berhenti jadi Pemburu?" Aku sadar kelewat cerewet sore ini. Tetapi yang satu ini merupakan pertanyaanku sejak lama.

Aiden enggan menjawab.

*


Di sekitarmu.

Di sekitarmu.

Perkataan itu berulang-ulang di kepala seperti tape radio yang rusak. Aku ingin menanyakan apa maksudnya lain kali.

Kami tiba di area parkir. Aiden pulang dengan mengendarai sepeda motornya sedangkan aku menuju halte menunggu bus RTS seperti biasa.

Di antara kendaraan yang berjajar rapi, Geoffrey sedang menatap kami dari dalam mobilnya. Entah di mana dua temannya sekarang.

"Rosenberg," panggilnya, keluar dari mobil.

Tegang. Aku berusaha bersikap biasa, mengangkat satu tangan ke arahnya.

"Kami kecewa karena polisi belum menyimpulkan apa pun."

"Benarkah?" sahutku.

Geoffrey mengambil sesuatu di saku jaket yang ia kenakan. 

"Ini USB berisi rekaman video kejadian yang menimpamu waktu itu."

Cepat-cepat kurebut USB dari tangannya. "Akan kukembalikan jika sudah aku copy-paste."

Jadi, hari ini, ada dua USB milik dua orang dalam tas ranselku.

Pandangan Geoffrey bergeser.

"Murid pindahan. Sepertinya sebelum ini aku pernah melihatmu di suatu tempat." Ia dengan ramah mengajak Aiden berbincang.

Apakah sosok Aiden muncul di video?

"Mungkin kau benar." Si murid pindahan mengulurkan tangan sopan. "Aiden Carell."

"Geoffrey Ryder."

Dua laki-laki di hadapanku bersalaman. Melempar senyum singkat. Semoga mereka berhubungan baik satu sama lain.

"Ah, aku ingat. Kau tetangga kami, kan? Rumahmu di sebelah selatan rumah keluarga Rosenberg."

Aku tersentak, lalu menoleh ke arah senior kami.

Apa?

APA?

"Kuberi tahu kau, rumahmu itu sepi sekali seperti rumah hantu," sambung Geoffrey.

Dengan gerakan lambat dan berat, aku menoleh ke arah Aiden. Aku yakin mataku mengeluarkan sinar laser mematikan.

Saat mereka berbincang, aku mendapat fakta ternyata sejak November tahun lalu Aiden menjadi tetangga kami.

Ia memang di sekitarku.

Sudah empat kali mencium darah menjijikkan menstruasiku!

Aku terlalu tercengang, bingung, dan pusing memikirkannya.

[ ].





  
a/n:

Aiden adalah tetangga Mackenzie, sejak Mackenzie pergi dari mansion.

Ada yang pernah nebak begitu?

Di FILE 13 saat Mackenzie sendirian (ditinggal Lauren pergi), ia merasa aman karena di sebelah utara rumahnya ada rumah keluarga Geoffrey, sekaligus parno karena di sebelah selatan rumahnya ia gak tahu itu rumah siapa.

Walaupun Mackenzie punya pemikiran melukai diri sendiri supaya Aiden datang, cerita ini gak ada adegan menyakiti diri sendiri, ya.

Dulu adegan menyakiti diri sendiri dilarang sama wattpad. Gak tahu deh kalo sekarang :)

nihar || IG : springtopia

RECURRENCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang