Jariku tersentuh kulitnya yang hangat kala mengambilnya. Ia menghela napas, lalu bersedekap. Aku menyimpan USB itu ke dalam kantong terdepan ransel.
"Ada apa dengan kepalamu?"
"Habis dijambak."
"Apa?" Ia terkejut.
Tawaku hambar. "Lupakan saja."
Saat menatap sekeliling lorong loker, baru kusadari kami hanya tinggal berdua.
"Ayo." Seolah mengetahui kecemasanku, Aiden mengajakku meninggalkan lorong.
Sesampainya kami di luar, belum ada ide cemerlang untuk membuka obrolan. Kami berjalan bersisian, sangat dekat. Jika tanganku bergerak satu inci saja, maka kami akan bersentuhan. Aku menunduk menatap sepatu kami.
Ia berhenti untuk mengenakan kacamata hitam.
Sekilas ia tampak seperti aktor film tahun sembilan puluhan favorit Nancy.
Tidak ada yang salah dengan kacamata hitam. Aiden bertingkah seolah-olah ia sungguh albino dan benda itu mencegahnya dari silau.
Aku tersadar, mendongak ke arahnya. Tinggiku masih sebatas dagunya.
"Kau sedang menutupi warna matamu yang merah, ya?" tebakku.
Ia menoleh, kemudian tertegun.
"Genius," pujinya. "Kacamata gelap wajib dimiliki golongan kami untuk melindungi mata yang berubah warna di luar kendali."
Bob yang membawaku ke rumah Dokter Nightshade juga berkacamata hitam.
Astaga. Aku jadi mencurigai siapa pun yang memakai kacamata hitam!
"Apakah ada lagi yang ingin kau beri tahu tentang golongan kalian?" Padahal aku hampir mengatakan tentang dirimu. "Kita bebas bicara keras-keras di sini. Bukan di kamarku."
Kesalahan yang dibuat sendiri. Di kepalaku terbayang momen kami "berkomunikasi" dalam keheningan agar tidak ketahuan orang rumah. Persis penjahat. Tapi pipiku menghangat lagi.
"Tolong abaikan saja bunyi jantungku."
Kesalahan kedua. Permintaan itu sama sekali tidak membantu. Aiden terkekeh dan semakin mengembangkan senyum ejekan.
"Lich akan mati tertembak peluru perak. Sedangkan kami ...." Suaranya memelan, sekilas menatap sekitar. "Kami tidak terpengaruh."
Akan kuingat. Selain mampu keluar di siang hari, hibrida tidak takut peluru perak.
"Apakah ada pertanyaan lain?" ia menawarkan saat kami kembali beriringan perlahan.
Yang tentu saja kusambut antusias.
"Kau bilang darahku bisa memanggilmu?" Apakah pertanyaanku terdengar cukup bodoh?
"Secara harfiah," ia mengaku. "Ibarat seseorang menyemprotkan parfum yang familier. Sama-sama menguarkan aroma yang dihafal hidungku. Bedanya, bau darahmu pertanda kau sedang mendapat masalah."
"Sejauh apa kau bisa menciumnya?"
"Sekitar seratus meter."
Angin berembus dari arah samping. Aku menggigil, merapatkan jaket.
"J-jadi ... itu berarti ...." Kalimatku tidak sengaja menggantung. Mulai gelisah.
"Hmm? Apa?"
Aku menelan ludah.
"Ada apa?" desaknya. Nadanya khawatir.
"Kalau aku sedang menstruasi, berarti kau ...."
Aiden tiba-tiba membuang muka, mendongak ke langit.
YOU ARE READING
RECURRENCE
FantasyGenre : fantasi - misteri - fiksi remaja Manipulasi kematian tahap awal: hilangkan bukti. Manipulasi kematian tahap akhir: membuat alibi. Sementara korban hanya diberi pilihan terbatas: hapus ingatannya, atau diasingkan. Mackenzie Rosenberg sempat...
FILE 20 | USB
Start from the beginning
