Jeda pergantian jam pelajaran, aku menyempatkan pergi mengamati TKP demi rasa penasaran.

Ketika hendak beranjak menuju ruang kelas berikutnya, aku menyadari desis pergeseran udara di belakang.

Bulu kudukku meremang.

Mungkin hanya angin.

Sepintas, ada bayangan panjang melesat di sampingku.

Aku menoleh ke segala arah.

Tetapi tidak ada siapa-siapa.

Oke, aku mulai gugup.

Tak lama kemudian, suara gedebuk keras benda jatuh mengagetkanku.

"Oops ...! Maaf, maaf."

Sekitar dua meter di belakangku, petugas kebersihan dengan kikuk mengambil gagang alat pel kusam dari lantai.

"Hari yang cerah untuk bersih-bersih," sapa pria itu ramah.

Kegugupanku seketika mereda.

"Uncle, kau tampak bosan."

"Kau benar. Tetapi aku menikmati pekerjaan monoton ini di sekolahmu."

Sambil melangkah menjauh, aku memerhatikannya. "Kau harus mencoba alat pel Libman Company dengan serat terbaik. Mempermudah pekerjaanmu dan bisa menghemat waktu."

Mengapa aku merekomendasikannya? Karena Nancy telah membuktikan ke seluruh lantai keramik di rumah dan hasilnya cukup memuaskan. Ibu tiriku hanya mengeluarkan delapan dolar untuk itu.

"Aku baru mendengarnya. Terima kasih, Nak."

Dengan tersenyum tipis aku menyudahi percakapan kami.

"Senang sekali bisa bekerja di siang hari," senandungnya untuk diri sendiri.

Jarak kami sekitar enam meter. Ia berdiri di posisi yang sama seraya memegangi gagang pel. Ia petugas kebersihan berusia empat puluhan paling murah senyum yang pernah kujumpai.

Sambil memeluk lengan, aku mulai berderap. Temperatur di sekitar mendadak dingin.

Tetapi entah mengapa aku merasa harus berhenti sebentar dan berpaling.

Aku melakukannya. Orang itu masih berdiri terpaku. Balas menatapku. Setengah badannya seakan berselubung bayangan. Bibirnya tersenyum lebar.

Perlahan, senyumnya menampakkan bagian putih--giginya.

"Kau tahu, Nak, aku beruntung tidak perlu bersembunyi dari sinar matahari dan bebas mencari makan."

Selang beberapa detik, barulah aku memahami makna ucapan riang gembiranya itu.

Petugas kebersihan paling ramah dengan senyum aneh. Bulu kudukku lagi-lagi meremang.

Cepat-cepat aku menjauh, kemudian berbelok menuju lorong loker, masih di lantai tiga. Ada beberapa orang murid yang tidak kukenal. Karena tergesa-gesa, bahuku membentur seseorang.

"ADUH!" pekik seorang gadis. "HEI!"

"Maaf," sesalku bersungguh-sungguh.

"Kau perlu kacamata agar melihat dengan benar!" cercanya.

"Hei! Kau yang menyakiti Jeremy, kan?" tuding seorang temannya yang melipat tangan di dada. Bisa kutebak mereka merupakan murid senior.

Belum sempat aku menjawab, tubuhku didorongnya. Nyaris membentur pintu loker. Tali tas ranselku melorot.

"... Junior ini siapa? Berani-berani sekali ...."

"... Ah. Aku tahu dia. Dia saudari Lauren ...."

"... Dia sama menyebalkannya dengan Lauren ...."

RECURRENCE Where stories live. Discover now