"Ibu tidak pernah bilang Luna jahat, tapi dia memang tidak terlihat ingin menjalin hubungan ke jenjang lebih serius," jelas Soohee. "Tapi kalau kau memang sangat menyukainya, bisa mati kalau dia tidak ada. Mau bagaimana lagi, temui Luna dan perbaiki hubungan kalian."

Jimin tidak berkata apa-apa, hanya menghela napas kelewat berat dan panjang.

"Kenapa juga anakku ditolak. Sudah pintar, punya pekerjaan bagus, tampan, tapi tetap saja tidak masuk kriteria suami idaman."

"Mungkin aku kurang pengertian."

Soohee mengusap punggung putranya lembut.

"Kurang memahami Luna dan terlalu egois."

Soohee mengangguk, tidak berusaha membela putranya karena dia tahu, saat ini Jimin tidak membutuhkan itu.

"Tidak apa-apa, kekurangan bisa diperbaiki dengan calon istrimu nanti. Toh, semua manusia memang pasti ada kurangnya."

Ya, Ibunya benar, manusia memang punya kekurangan dan kekurangan Jimin yang membuat dia kehilangan Im Luna.

Jimin menarik napas panjang selagi memutar keran air, lalu keluar dari shower room. Dia berdiri bertelanjang dada depan kaca wastafel, mengamati bulu-bulu halus di bawah dagu sudah tumbuh terlalu banyak. Sembari bercukur Jimin mencoba mengurutkan kejadian, hal-hal ganjil, atau perilaku tidak biasa Luna sebelum mereka putus.

Keduanya terbilang jarang bertengkar, kalau pun ada, terhitung sebagai debat kecil. Luna kerap protes Jimin terlalu sibuk sejak mengubah divisi hukum yang dia tangani. Dari kasus perceraian menjadi mengurusi kasus bisnis dan kriminal yang menguras seluruh waktunya.

"Aku sengaja mengambil cuti dari syuting dan menolak tawaran reality show, tapi kau justru lebih memilih berada di ruang forensik bersama mayat-mayat itu."

Saat itu Jimin tengah menangangi kasus seorang tenaga kerja asing yang membunuh anak majikannya, kasus berat pertama yang dia ambil setelah menukar divisi hukum.

"Luna, sudah terlalu lama aku mengambil divisi yang tidak kusukai. Aku juga ingin sepertimu bekerja di bidang yang kusuka."

"Semakin hari kasus yang kau ambil semakin rumit, sementara kau memintaku mengurangi jadwal kerjaku."

"Kalau kita menikah nanti, kau harus hiatus, tinggal di rumah saja."

"Hah?! Mana bisa begitu. Jim, kita sepakat tidak mencampuri pekerjaan masing-masing."

"Tidak ada negosiasi."

Anggaplah Jimin egois, tapi sejatinya dia hanya khawatir kemampuannya terlupakan sebab lama diendapkan. Dia hanya ingin punya istri yang fokus pada pernikahan dan rumah tangga mereka, mengurus anak-anak selama dia bekerja di luar.

Pertengkaran malam itu mereka selesaikan dengan damai, ditutup obrolan manis tentang rencana masa depan. Luna mengalah, memilih memahami impian Jimin.

Kalau dipikir-pikir lagi Luna memang selalu kalah debat dengan Jimin, diam dan mengiyakan demi memutus pertengkaran. Luna kerap memahami kesibukan Jimin di antara kesibukan jadwal pekerjaannya sebagai aktris, Luna sering menyimpan pendapat karena Jimin terlalu dominan dan mengatur segala hal.

Tanpa sadar Jimin mulai menyalahkan dirinya, berandai-andai tidak mengubah divisi hukum, punya waktu lebih banyak untuk Luna, mungkin hubungan mereka saat ini masih ada.

"Arghh!" Jimin meringis saat menyadari dia sudah melukai dagunya sendiri, darah merembes melewati lehernya.

Jimin menarik handuk kecil yang tadi dia pakai untuk mengosok rambut, menekan dagu guna menahan laju darah yang masih keluar. Sambil menahan jengkel karena darahnya terus saja keluar, Jimin berlalu dari kamar mandi menuju lemari pakaian. Mengambil baju paling santai untuk acara interview calon istri yang sudah diatur oleh Ibu dan adiknya, kelakuan aneh dua perempuan paling penting di hidup Jimin yang mendatangkan senyum dan tawa kecil.

The CovenantWhere stories live. Discover now