1

1.3K 200 63
                                    

"Oppa! Bangun!"

Guncangan di bahu tidak serta merta membuat Jimin mau beranjak dari alam bawah sadar, dia tetap tengkurap di ranjang meski bahunya kembali digoyang-goyang dan suara rengekan putus asa sang adik mulai memekakkan telinganya.

"Oppa, ayolah, bikin pekerjaanku cepat selesai."

Park Niara, adik perempuan satu-satunya yang Jimin punya, baru genap 17 tahun, berkacak pinggang depan ranjang tidur kakaknya dengan wajah masam. Tanpa perasaan dia duduk di punggung kakaknya yang bersikeras cosplay jadi batu alih-alih mengindahkannya, menahan tawa saat mendengar gerungan dari bawah bantal.

"Oppa, hari ini kau harus tampil keren, menemui tujuh calon kakak ipar yang terdaftar di sini."

Niara mengetuk pulpen berbandul bulu merah muda pada notes kecil bunga-bunga yang dia pegang, lalu beranjak dari punggung sang kakak setelah jari tengah Jimin mengacung ke udara

"Kau mau membunuh kakakmu yang cuma satu-satunya ini?" Jimin mengeluh kelewat jelas, membalikkan badan lalu duduk sambil mengusap punggungnya yang keram.

"Coba kuperiksa, jangan-jangan tulangmu patah." Niara duduk di sebelah Jimin, mengusap-usap punggung kakaknya sambil cemberut. "Harusnya patah sih, jadi aku punya kesempatan dapat kakak baru yang lebih baik hati."

"Cih! Siapa juga yang mau punya adik sepertimu?"

"Jungkook oppa," jawab Niara gembira. "Dia bilang bersedia jadi kakakku, termasuk Kirana, jadi aku akan langsung dapat sepasang."

"Ah, pasangan gembel itu lagi." Jimin menguap, menggaruk rambutnya sambil memicing pada Niara yang sudah cantik dan wangi.

"Mau kencan?" tanyanya penuh tuduhan.

"Oh, Kakak Besarku yang jeleknya seperti Itik, lebih tepatnya kau yang akan kencan hari ini, bukan aku."

"Pencarian pacar baru untukku masih berlanjut?" kata Jimin. "Memangnya Ibu belum mau menyerah juga?"

Jimin mengacak rambut adiknya sebelum beranjak dari ranjang, mengabaikan omelan Niara sebab sang adik membutuhkan waktu satu jam untuk menata rambut. Dia memilih mandi di bawah guyuran air dingin dan keramas, mencari alasan baru agar bisa menolak—meski tahu itu sia-sia, rencana Ibunya untuk kesekian kalinya.

10 minggu selewat Luna menolak lamaran dan jadian dengan Taehyung, Ibunya terus mengeluh tentang; anakku-calon-bujang-lapuk-kalau-tidak-menikah-tahun-ini, memaksa dia berkenalan dengan sederet gadis-gadis cantik, anak dari teman Ibunya.

"Ibu, aku baik-baik saja, hanya butuh waktu sebentar untuk yang sudah terjadi."

Entah sudah berapa kali Jimin meyakinkan Ibunya, tetapi Han Soohee tetap saja melihat Jimin dengan cara yang sama. Prihatin akan nasib sang putra pertama jadi bujang tidak laku.

"Kenyataannya, kau terlihat seperti manusia tanpa jiwa."

Jimin tahu ibunya hanya terlalu mengkhawatirkannya, tapi dia juga tahu kalau dirinya belum ingin bertemu orang baru, masih menata hati dan pikiran yang berantakan tanpa dirundung banyak pertanyaan dari keluarga dan teman-temannya, sebelum hidup lagi demi diri sendiri.

"Ibu tahu kau sedang patah hati, Ibu hanya khawatir," kata Soohee, menahan senyum.

"Tapi kenapa Ibu tidak sedih?" Jimin memandangi Ibunya yang jelas-jelas menahan senyum sampai hidungnya kembang kempis. "Ibu senang anaknya ditolak?"

"Bukan begitu, tapi menurut Ibu kalian memang tidak cocok. Sama-sama sibuk, mana bisa menikah kalau pasangan punya dunianya sendiri."

"Ibu, Luna gadis yang baik."

The CovenantWhere stories live. Discover now