15. Pangeran Bumi (b)

Mulai dari awal
                                    

Esoknya lagi, pintu itu sudah terbuka, seakan mempersilakannya masuk. Ibu Juno seperti menunggunya. Ada secercah pengenalan di matanya. Maya bersemangat hendak berbicara, dan menyadari kemarahannya berganti dengan harapan. Tapi baru beberapa kata terucap, Maya ditinggalkan begitu saja. Ibu Juno masuk ke kamar dan tak keluar lagi. Maya tak mungkin menunggu dengan mengabaikan Geo di jalan sana.

Hari keempat itu, Maya disambut dengan serpihan cerita tanpa ujung pangkal yang jelas. Entah siapa dan apa yang dimaksud Ibu Juno. Tetapi semakin banyak ia mengoceh, semakin Maya mulai bisa menyatukan kepingan dan mendapatkan gambar mengerikan. Wanita itu menyalahkan Juno untuk semua kemalangan yang menimpanya. Melahirkan Juno menjadi titik balik kesialannya, demikian ia menyumpah-nyumpah.

Kalau yang berbicara adalah wanita berpenampilan wajar, Maya mungkin sudah memukul mulutnya. Ibu kandung Juno atau bukan. Tetapi di hadapannya adalah seorang wanita yang berpakaian itu-itu saja dalam beberapa hari ini. Rambut acak-acakan kaku. Mata kadang berputar liar, kadang hampa tak berpenghuni. Maya hanya mengepalkan tangan di kanan kiri tubuhnya.

Lalu mata itu tiba-tiba hidup dan menyiratkan kedalaman. Dan Maya seakan melihat mata Juno di sana. Saatnya tiba untuk berbicara. Dan Maya mencecarnya dengan keras tanpa memberi kesempatan untuk mendebat. Kemarahan yang naik turun di dadanya kini mendesak keluar tanpa hambatan.

Dia adalah ibu yang sangat beruntung, kata Maya. Juno seharusnya mendapatkan ibu yang jauh lebih baik ketimbang dirinya. Juno tidak mendendam ditelantarkan. Bahkan selalu mendoakannya. Sederet kebaikan Juno, Maya sebutkan. Benar-benar bertekad memindahkan perasaan bersalah itu ke tempat yang semestinya, dari Juno kepada ibunya.

Mendengar itu, ibu Juno menangis pilu. Berkepanjangan. Maya membenci air matanya. Ia berbalik pergi karena muak, tapi ibu Juno menghadang dan menyiram mukanya dengan segelas air teh. Maya menggeram. Ia tidak bisa melakukan ini lagi. Ia sudah mengatakan apa yang perlu dikatakannya.

Maya menghela napas berat. Mengubah posisi bantal agar lehernya yang kaku tertumpu lebih nyaman. Mengingat apa yang dikatakannya kepada ibu Juno, sampai kapanpun sepertinya ia akan merahasiakan kunjungan itu kepada semua orang. Kecuali kalau dua perawat itu turut campur memberitahu Bunda atau Juno. Entahlah. Nanti saja ia pikirkan konsekuensinya. Kepalanya semakin nyeri. Tampaknya ia harus meminum pil pereda sakit.

Maya bangkit, agak terhuyung. Menangkap bayangannya di cermin dengan rambut panjang awut-awutan. Ia tak peduli. Diambilnya obat dari laci dan meminumnya dengan air bening yang disediakan Bunda di mejanya. Terdengar keramaian anak-anak di halaman. Septi dan Okta kedatangan tamu-tamu kecil. Maya memperhatikan dari jendela. Vitrase menghalangi pandangan dari luar ke dalam, tapi ia bisa mengamati dengan jelas keadaan di luar sana. Spathodea bergoyang lembut.

Mengingatkannya pada Geo. Dengan kehangatan senyum yang masih bisa ia rasakan saat memejamkan mata. Taring kiri atas yang agak gingsul itu... satu lagi ciri khas yang dapat dikoleksinya dalam ingatan. Sulit untuk mendapatkan gambaran utuh dalam curi-curi pandang sesekali. Tentu saja ia tak mungkin menatap Geo berlama-lama untuk mempelajari seluruh lekuk lengkung wajah pemuda itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipinya terasa panas.

Kemarin ia diajak Geo menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda di Pakar, Dago. Diperkenalkan dengan pepohonan seolah mereka manusia teman-temannya. Geo mengajak pohon-pohon itu berbicara. Benar-benar bebas dan betah. Maya sampai terharu. Betapa besar kepercayaan Geo kepadanya, menjadi diri sendiri tanpa takut ditertawakan atau diolok-olok.

Maya hampir menjuluki Geo dengan tree nymph, peri pohon. Tapi ia tak yakin bagaimana Geo akan bereaksi terhadap sebutan itu. Geo tidak terbiasa membaca dongeng dan fiksi, perlu penjelasan panjang agar peri pohon yang digambarkan dengan sosok wanita itu dapat diterimanya sebagai komplimen.

Lalu secepat ia menghapus peri pohon, secepat itu pula Pangeran Bumi muncul di benaknya, dan terucap tanpa pikir lagi.

"Apa?" Geo menelengkan kepala.

"Kamu Pangeran Bumi. Geo kan berarti Bumi. Danadyaksa berarti penjaga kekayaan. Cocok kan? Kamu mencintai kekayaan bumi, pepohonan ini. Pangeran Bumi."

Geo memandangnya terpana. Maya menikmati beberapa detik untuk mendapati rahang yang seperti terpahat tegas itu tiba-tiba bisa melembut ketika bibir Geo terkuak dan menyembulkan taring yang tidak rata. Isi perut Maya seakan bersalto di dalam sana. Ia buru-buru menengadah, memandangi awan. Tapi bahkan awan meledeknya dengan membentuk wajah Geo di sana.

"Pangeran Bumi...," gumam Geo. "Aku suka. Kamu memberi makna berbeda pada namaku. Sebelum ini aku diyakinkan mereka bahwa namaku berarti Geo si Penjaga Harta. Sang Pewaris Perusahaan Keluarga."

"Kamu hanya perlu mengubah sudut pandang untuk mendapatkan imaji yang lebih menyenangkan," sahut Maya. Disambut tawa renyah Geo.

Juno tiba-tiba saja melintas di depan jendelanya, seketika membuyarkan bayangan Geo. Pintunya diketuk pelan. Terdengar ragu.

"Tunggu sebentar, Juno!" Maya berbalik terlalu cepat untuk meraih kerudung di kapstok. Kamar mendadak berputar. Tangannya cepat menggerapai sekenanya, menemukan kursi, dan membuatnya jatuh terbalik. Maya tersuruk dan sempat berpegangan meja sebelum jatuh.

"May! Kamu baik-baik saja?" Juno menggedor pintu sekarang.

"T-tidak apa-apa." Maya menegakkan badan, mengenakan kerudung dan membuka pintu.

"Bunda bilang kamu sakit...." Lalu Juno melihat kursi yang terbalik. "Kamu jatuh?"

Maya menggeleng. "Hampir." Detik berikutnya, ia sudah merasakan lengan Juno di bahunya, membimbingnya kembali ke tempat tidur. Maya memprotes. Tapi akhirnya mengalah karena pusing kembali menyergap.

"Duduklah," kata Juno. Menata bantal untuk sandaran Maya. "Mau kubuatkan cokelat panas? Teh?"

Maya menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Sudah minum obat."

Juno mengangguk. Lalu memberdirikan kursi, tapi memilih duduk di tepi dipan. Maya bergeser memberinya tempat. Diamatinya Juno. Rambutnya acak-acakan. Kemejanya kusut. Wajahnya lelah. Tapi ujung-ujung bibirnya berkedut. Sebelum Maya sempat menebak ia datang membawa berita gembira, Juno sudah meraih satu tangannya dan menggenggamnya erat-erat.

"Aku harus berterima kasih padamu." Juno mengguncangkan tangannya. "Aku tidak tahu apa tepatnya yang kamu katakan pada Ibu. Tapi kemarin pagi, Ibu seperti sudah... kembali. Mandi, berdandan, makan sendiri, membereskan rumah. Setelah sekian lama, aku hampir tidak percaya. Rupanya kamu yang datang membawakan keajaiban-Nya."

Maya tercengang.

Wajah Juno berseri-seri, walau matanya basah dan suaranya agak tercekik. "Tadi malam, Ibu bahkan memintaku mengantarnya ke dokter. Ia dirujuk ke rumah sakit jiwa di Cisarua. Tadi pagi kuantar ia ke sana. Dan ia sendiri yang meminta untuk dirawat inap sampai sembuh. Terima kasih, May. Kamu tidak tahu betapa besar ini artinya bagiku."

Oh, Maya tahu benar sebesar apa artinya ini bagi Juno. Sama besarnya dengan arti kebahagiaan Juno baginya. Tangan kirinya terulur untuk mengusap setitik air di ujung mata Juno.

***

Pangeran Bumi Kesatria Bulan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang