7. Anak-Anak Bulan (c)

1.4K 257 22
                                    

3

Septiani bertepuk tangan. Pipinya berkilau oleh pantulan cahaya neon pada butiran air matanya. " Aku suka. Bagus ceritanya. Dan ada nama Kak Maya dan Kak Juno."

"Kebetulan saja," kata Juno, mengedipkan mata.

"Kalian memilih nama untuk diri sendiri. Maya dan Juno. Anak-anak Bunda Wulan. Anak-Anak Bulan. Kebetulan juga, kah?" Augy menyipit, menyelidik.

Maya mengacak rambutnya. Tidak berkata apa-apa.

"Jangan-jangan, sebetulnya cerita itu ditulis oleh salah satu dari kalian," desak Augy.

Juno tertawa. "Bukan."

Augy mengangguk percaya. Juno hanya perlu berkata sekali, dan Augy akan patuh dan percaya. Maya kadang iri akan hal itu.

"Baiklah," kata Augy. Lalu ia telentang lagi, menatap langit. Bulan separuh muncul dari balik awan. "Tapi cerita itu membuatku berpikir. Kita semua punya latar belakang misterius. Kecuali Kak Juno. Misterinya sudah terpecahkan."

Maya bertukar pandang dengan Juno.

"Akhir misteriku jauh dari indah," kata Juno, tidak dengan nada mengeluh. Ia hanya menyatakan fakta.

"Maksud Kak Juno, kami tidak perlu mengungkapkan misteri karena faktanya pasti buruk juga?"

"Augy," kata Maya hati-hati. "Risiko itu selalu ada. Kamu sendiri yang sering bilang, kita tidak mungkin ada di sini sekarang kalau orangtua kandung kita ada di luar sana dan menghendaki kita."

"Yah, itu kan pemikiran negatif. Sekarang, aku mulai berpikir, kemungkinannya bisa juga positif, kan? Seperti dalam cerita itu. Siapa tahu, aku anak seseorang yang karena kesalahan orang lain, aku jadi terbuang. Dan sekarang, orangtuaku masih berusaha menemukan aku. Empat belas tahun mereka mencariku. Sementara aku enak-enakan di sini tidak mencari mereka. Kemungkinan itu ada, kan?"

"Bunda Wulan tidak pernah begitu saja menerima anak-anak tanpa menyelidiki latar belakangnya. Kamu kan sudah melihat berkas-berkasmu," kata Maya.

Augy mengangguk. Tapi ia berkeras, "Mungkin ada yang terlewat olehnya. Mungkin begitu juga dengan kasus Kak Maya."

Maya terbelalak. "Bunda Wulan sudah mengadopsi aku dan kamu, Augy. Dialah orangtua kita sekarang. Aku kakakmu. Kurang apa lagi?" Nadanya mulai menyentak. Saat itu juga ia merasakan sentuhan sejuk di tangannya. Ia menoleh dan mendapati Juno menggeleng halus.

"Kak Maya cuma terlalu takut menghadapi kemungkinan terburuk." Augy membandel.

"Aku berpikir realistis."

"Maya, Juno, Augy, Septi, Okta, dan Desti. Kak Maya dan Kak Juno memilih nama-nama itu untuk menunjukkan bahwa meskipun kita cuma anak-anak yang dikenali dari perkiraan bulan kelahirannya, nama-nama bulan telah menyatukan kita, menjadi sebuah keluarga. Itu aku sadari betul. Tetapi cerita itu memberiku harapan baru. Bahwa di luar sana, atau di atas sana, di bulan, di bintang, di mana saja, aku punya keluarga asli."

Augy mengakhiri pidatonya. Maya menghela napas. Wajah Juno memucat. Bibir Septiani bergetar. Tangisnya sebentar lagi meledak. Okta memandang mereka berganti-ganti dengan bingung.

Maya bertepuk sekali. "Sudah malam. Kalian besok sekolah. Sudah waktunya tidur."

"Tapi, Kak," Augy bangkit duduk, "aku tidak salah kan?"

Maya mengembuskan napas keras-keras. "Ya. Kamu benar. Nah, sekarang, masuk kamar masing-masing."

Augy mengangguk puas. "Tapi aku masih pengin di sini, mengobrol dengan Kak Juno."

Pangeran Bumi Kesatria Bulan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang