16 - With Sound of Coffe Machine

39.1K 5.1K 1.1K
                                    

Chapter 16 - With Sound of Coffe Machine


Suara mesin kopi menyadarkan Luna dari lamunannya.

Luna menoleh ke samping dimana rekan kerjanya yang berperan sebagai barista tengah menuangkan kopi ke dalam gelas kaca. Kemudian kembali pada pekerjaannya, berdiri di depan meja kasir, menunggu pembeli datang untuk membayar. Sudah cukup lama Luna hanya berdiri dan membiarkan pikirannya membawa jauh dari tubuhnya. Sejak ucapan Mika tempo hari, Luna tidak bisa bekerja semestinya. Cowok itu seolah menyita sepuluh persen dari keseluruhan pikiran Luna.

Atau dua puluh? Uh, Luna tidak suka gelisah seperti ini.

Sejak hari itu pula, Mika tidak datang ke kafe. Cowok itu bagai hilang ditelan bumi. Di sekolah Luna jarang melihat Mika kecuali di kantin. Itu pun Mika tidak sekali pun menolehkan kepalanya ke arah Luna. Poof, seolah hilang begitu saja. Seolah ucapan Mika kemarin tidak ada arti apa-apanya.

"Kalo gue udah suka, gue nggak berhenti buat ngejar."

Ucapan menyebalkan itu kembali muncul.

Kalau beneran suka, kenapa sekarang belum dikejar?

Tunggu, kenapa Luna ingin dikejar? Buat apa dia dikejar? Untuk memastikan ucapan Mika serius atau tidak? Hah, kayak anak kecil saja.

Saat pikiran Luna hendak menari ke sana ke mari, pintu membuka perlahan menimbulkan suara gemericing dari bel di atasnya. Luna mendongak untuk tersenyum formal, ketika melihat Ana di sana, Luna lantas tersenyum sangat lebar.

Ana bergerak mendekat dan berusaha memeluk Luna meski dibatasi oleh meja kasir.

"Ana!" bisik Luna senang. "Tumben ke sini?"

Iya, tumben ke sini. Untungnya Mika nggak ada....

"Tadi gue abis kerja kelompok di rumah temen, ternyata deket sama kafe ini. Sekalian mampir, deh," cengir Ana. "Ya ampun, Lun, lo keliatan sangat amat mandiri banget di mata gue. Ngiri deh...."

Luna tertawa kecil. "Mau beli apa?"

"Oh iya, sampe lupa. Gue mau caramel macchiato, dong!" ucap Ana dengan cengiran, berbanding terbalik dengan senyum Luna yang memudar.

"Satu caramel macchiato," sahut Luna sambil memencet keypad di layar komputer. "Jadi dua puluh tiga ribu."

Mika memberikan uangnya.

"Ditunggu struknya," ucap Luna.

"Udahlah nggak usah. Kayak baru hari ini aja ke sininya," sahut Mika sengit. "Minta kembalian aja."

Kenapa Luna malah mengingat Mika? Luna tidak pantas, tidak boleh. Mika bukan seseorang yang boleh mengisi pikirannya. Luna tidak mau ketika Ana menatapnya, Ana terluka.

"Lun?" tanya Ana cemas.

Luna tersadar. Dia kembali fokus menatap layar komputer di hadapannya, memencet beberapa tombol seraya berkata, "Jadi dua puluh tiga ribu, ya."

Meski heran, Ana tetap memberikan uangnya kepada Luna. Akhir-akhir ini Ana lihat, Luna menjadi murung. Sana-sini kalau diajak ngobrol jawabnya singkat. Lebih sering melamun. Sejak dulu Luna memang jarang sekali mengutarakan perasaannya, apalagi soal cowok dan keluarga. Luna lebih kepada tipe orang yang menanggung beban cerita orang lain. Orang yang diminta mendengarkan curhatan temannya.

Tapi kali ini, Ana tidak mau menjadi teman yang jahat seperti itu. Ana tahu Luna punya masalah selain finansial keluarganya.

"Lun," panggil Ana lagi ketika Luna masih bekerja. "Kalo ada masalah, bagi sama gue. Kali aja gue bisa bantu."

Started With A Broke(s) UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang