~Broken~

17 2 0
                                        

Bruuk!!!

Kubuka mataku, mencoba menyesuaikannya dengan cahaya diruangan serba putih ini.

"Nona? Anda sudah sadar?" kata perawat disebelahku.

"Bagaimana perasaan anda" sambungnya.

"Sedikit pusing, where's my mom, my dad, and Flynn?"

"Anda bisa keruang perawatan disebelah." dia nampak ragu menjawab, apa ini semua memang benar?

"Makasih sus"

***

"Dad" lirihku. Kulihat lelaki tua dengan sedikit uban yang telah tumbuh dirambutnya, ia terbaring dengan selang infus melekat ditangan kanannya.

Ia tidak meresponku. Kepalanya dibalut dengan perban.

Kudekati ia. "Dad" liriku lagi disebelahnya. Ia menoleh kearahku sesaat, lalu membuang pandangannya menuju arah yang lain.

Tak mendapat respon, aku keluar dari sana.

***

"Hiks... Hiks... Hiks..." aku menangis sesegukan ditaman rumah sakit. Tempat ini cukup sepi untukku.

"Haaaah!!!!" aku berteriak sekeras-kerasnya. Tak ku perduli lagi mereka yang melihatku keheranan.

God, why you do this to me? You take my family. Kenapa bukan aku? Kenapa harus mom dan Flynn?

Flynn, gadis kecil ku itu, adikku, dia masih sangat muda. Mom, apa ini yang ia dapat setelah mempertaruhkan nyawanya untukku dan Flynn?

Kututup mataku dengan kedua tanganku. Aku menunduk. Sakit, sangat sakit, jika bisa kugambarkan, ini bagaikan sebuah pedang yang menusuk hingga memotong-motong hatiku.

"Haah!!" ku berteriak kembali. Aku menangis sejadi-jadinya.

"Menangislah" aku menoleh kekiri. Kulihat dokter berjas putih tadi. Aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya tadi karena sedang buru-buru.

"Jika menangis mengurangi bebanmu, maka menangislah" tanpa dia suruhpun aku sudah menangis sejak tadi. Bahkan tak bisa berhenti.

Aku memeluknya, ia membalasku, hangat, dekapannya.

Sulkifli POV

"Haaaaaah!!!" kudengar teriakan itu. Aku hanya mengabaikannya.

"Haah!" kudengar kembali teriakan itu. Aku mencari sumbernya.

Aku melihat seorang gadis dengan sweeter grey itu tadi. Ia menangis. I know, itu sangat sakit. Ia baru saja kehilangan ibu dan adiknya.

Kudekati ia. Ia tidak menyadari saat aku sudah duduk disebelahnya.

"Menangislah" ia menoleh kepadaku. Matanya, sangat bengkak.

"Jika menangis mengurangi bebanmu maka menangislah" aku menepuk-nepuk bahunya. Aku tau, bebannya tak akan berkurang jika hanya menangis, tapi apa yang bisa ia lakukan lagi?

Tak kusangka, ia memelukku. Awalnya aku tak membalas pelukannya, tapi ia pasti sangat membutuhkan itu sekarang.

Saat kubalas pelukannya, aku menenggelamkan kepalanya didadaku. Ia semakin dalam memelukku. Tangisannya tetap tak berhenti, malah makin menjadi-jadi.

Aku prihatin melihat keadaannya, ia sangat terpuruk. Ini melebihi jika kau lompat dari gedung pencakar langit tapi kau masih hidup.

Kuusap rambutnya dengan lembut. Tangisannya mereda. Hanya menyisakan sesegukannya. Mengapa ia tak melepas ku?

Kumiringkan sedikit kepalanya. Aku melihat mata sembabnya itu, mata itu tertutup rapat. Ia pingsan atau tidur?

"Hei, hei" aku menepuk pelan pipinya. Ia mulai membuka matanya, sepertinya tadi ia tertidur. Memang, menangis pun membutuhkan banyak tenaga.

"Kuatkan dirimu besok, yours dad need you" pesanku. Ia tetap tak melepaskanku. Ia menyandarkan kepalanya pada bahuku.

Mungkin dia akan terkena diepresi jika terus begini. Ia tidak meresponku sejak tadi.

Aku mulai melepaskan tanganku. Ia juga mulai melepaskanku.

"Maaf" sebuah kata keluar dari bibir indahnya itu.

"Untuk apa?"

"Pelukanmu" aku tersenyum lalu mengusap kembali kepalanya.

"And, thanks"

"Too?"

"Your hug"

Can I Go?Where stories live. Discover now