Dusun di Balik Bukit

4.2K 197 93
                                    

Pagi menjelang. Mentari masih enggan menampakan sinarnya. Dusun kecil di balik bukit itu masih dibungkus kabut. Tetesan embun masih terlihat di daun-daun tanaman jagung yang sudah mulai menampakkan buahnya.

Meski adzan subuh baru berlalu 30 menit, namun sudah sejak menjelang dini hari tadi para penduduk beraktifitas. Ada yang sibuk di dapur, semata-mata agar ketika keluarganya membuka mata nanti, sudah ada makanan di meja. Meski hanya sepiring nasi dengan lauk sepotong tempe goreng, dicocol sambal bawang.

Ada pula yang sedang menata dagangan hendak berjualan di pasar tiban. Apalagi jika harinya adalah hari pasaran seperti ini, Rabu Kliwon. Mereka para penduduk dusun, beramai-ramai menuju pasar menjajakan aneka barang dagangan dan hasil panen. Barter pun masih berlaku disini.

Diantara hiruk pikuk pasar tiban, terlihat sesosok gadis dengan kaos berwarna merah dekil, dan rok abu-abu selutut. Rok itu terlihat seperti rok bekas seragam SMA. Rambut panjangnya diikat di belakang, menyisakan anak-anak rambut yang berseliweran di dahi. Tangannya memegang bungkusan plastik besar berisi tempe yang dibungkus dengan daun pisang.

"Tempenya bu... Tempe.. "

Suaranya nyaring bergema. Ditingkahi suara hiruk pikuk pembeli dan pedagan yang sedang tawar menawar.

"Nduk, sini"

Gadis itu merasa dipanggil seorang Ibu yang sedang duduk di bawah pohon jati di pinggir pasar. Pasar tiban memang tidak punya kios-kios seperti halnya pasar, tetapi hanya lapangan terbuka yang siapa saja bebas menggelar barang dagangan disitu.

"Tempene piroan Nduk?" -Tempenya berapaan Nduk-

"Seribu dapat lima Bu"

Perempuan yang dipanggil Bu tadi, melongok melihat plastik. Tangannya gesit memilih tempe satu persatu. Dipijatnya pembungkus tempe yang berupa daun pisang. Mungkin, menimang ketebalan tempe, dan ia menginginkan tempe yang tebal dan besar.

Perempuan itu selesai memilih tempe, dan menghitung harganya. Setelah mengangsurkan uang sejumlah harga tempe iapun mengalihkan pembicaraan.

"Namamu siapa Nduk?"

"Nama saya Rindu,Bu"

"Kamu nggak sekolah Nduk?"

Perempuan itu sekilas mengamati Rindu dari atas ke bawah. Perawakan Rindu yang kecil dan langsing, mungkin dikiranya usia anak sekolahan. Memang, Rindu baru lulus SMK bulan Juli, tiga bulan yang lalu.

"Saya sudah lulus Bu. Lulus SMK jurusan akuntansi"

"Wah, lulusan SMK kok nggak cari kerja di luar kota saja Nduk"

Si gadis yang bernama Rindu itu menyibak anak rambut yang menutup matanya. Dalan keremangan subuh, dia mengamati perempuan yang berdiri di hadapannya. Tipikal wajah bersih orang kaya, bajunya pun batik motif megamendung yang berwarna warni, dipadu dengan celana panjang hitam.

"Mencari pekerjaan susah Bu. Saya sudah berkeliling ke kota kabupaten , dari toko ke toko minta jadi kasir atau pekerjaan lain yang pantas. Tetapi tidak ada lowongan"

Perempuan itu mengangguk membenarkan. Memang, sekarang jika tidak punya keterampilan akan tergeser oleh mereka yang mempunyai skill. Tidak akan laku menjadi tenaga kerja.

"Teman Ibu di Jakarta sedang mencari pembantu lho, kalau kamu mau bisa menghubungi saya"

Rindu terkaget, menjadi pembantu tidak ada di dalam bayangannya selama ini. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya hanya menjadi babu ?

"Ibu tahu kamu masih bingung. Nama saya Bu Saptono, saya istri Pak Saptono, Lurah desa sebelah"

Rindu mengangguk, ia tahu siapa Pak Saptono, kepala desa di desa sebelah. Jaraknya 3 km dari pasar.

"Kalau suatu saat kamu berubah pikiran, bisa cari saya di rumah ya. Semua tahu kok di mana rumah Pak Saptono. Nanti kamu tanya-tanya saja ke penduduk desa"

Rindu hanya mengangguk dan menelan ludah. Berharap perempuan ini segera pergi dan tidak menganggu pikirannya dengan hal-hal diluar yang ia rencanakan. Tak urung Rindu pun tetap berterimakasih karena sudah diperhatikan.

Perempuan itu berlalu, dan Rindu kembali berteriak menjual tempenya yang masih banyak .

"Tempenya Bu... Tempe... Tempee !"

Matahari mulai muncul di ufuk timur, sinarnya menerpa embun yang berkilauan di pucuk-pucuk dedaunan. Sungguh, suasana desa yang syahdu. Sebuah nikmat yang patut disyukuri dengan sepenuh kesyukuran. Desa yang dilingkupi dengan kedamaian dan kebahagiaan meski dalam keterbatasan. Di balik senyum para penduduk dusun, disanalah tersimpan kesyukuran dan keikhlasan. Semua sibuk mengais rejeki dan barokah dari Rabb semesta alam.

MATA BENING RINDUWhere stories live. Discover now