7. Anak-Anak Bulan (c)

Start from the beginning
                                    

"Tidak. Kamu bakal kesiangan bangun kalau tidur terlalu malam. Kalau aku menungguimu, semua orang akan terlambat."

Sambil bersungut-sungut, Augy akhirnya bangkit juga. "Kak Maya, you're not fun. You are all about rules. Kak Juno, ajari Kak Maya santai dikit kenapa, sih?"

Maya mengabaikannya. Ia menoleh kepada Juno lagi, curiga ada cengiran di bibirnya. Tapi wajah itu datar saja. Terlalu datar malah.

"Aku mau mengantarkan Okta dan Septi ke kamar mereka," kata Juno buru-buru, menghindari matanya. Dan tanpa menunggu jawabannya, ia menggiring si kembar. Okta bahkan ia gendong karena terlalu lamban berjalan.

Maya mendesah pasrah. Kehadiran Juno selalu menegaskan perannya sebagai kakak yang kaku menyebalkan. Juno bisa santai menghadapi adik-adik tentu karena jarang ada di sini. Wajar saja kalau setiap detiknya diusahakan untuk menyenangkan mereka. Coba kalau sehari-hari Juno dihadapkan pada pertengkaran, rengekan, rebutan, pembangkangan, di samping harus memastikan rumah tangga terurus baik, Maya yakin, ujung-ujung bibir Juno yang melengkung naik itu pasti akan melorot turun juga. Bawaan lahir atau bukan bawaan lahir. Maya mendesah lagi. Ah, kenapa jadi merasa jengkel kepada Juno hanya karena protes Augy.

Maya membaringkan diri di karpet. Berbantal tangan. Memejamkan mata. Kata-kata Augy sebetulnya tidak terlalu mengganggunya. Augy hanya menggaungkan pikiran dan imajinasi yang pernah dimilikinya dulu. Bahwa di luar sana, ada keluarga hangat yang menunggu atau bahkan mencarinya. Agak terlambat bagi Augy. Maya dan Juno merasakan harapan menggebu itu di usia lebih kecil lagi. Menghilang dengan sendirinya di usia 14 ketika realitas semakin mewujud. Augy baru memulai. Mungkin Septi juga akan terpengaruh sekarang. Selama ini, tanpa disadari, mereka hanya mengikuti sikapnya. Sekarang, tampaknya Maya harus mendukung pencarian mereka, tetapi sekaligus tetap melindungi mereka dari kekecewaan.

Aah. Tidak mudah.

Dan Maya mencoba berhenti berpikir. Berkonsentrasi pada keheningan, walau masih didengarnya aktivitas di kamar mandi, Juno mengantarkan Okta menggosok gigi. Angin malam mulai berdesir ramai pada dedaunan di atas. Sesekali ada yang mengalir turun dan menembus kerudung dan tuniknya. Ia menghirup hawa dingin yang sudah melewati bunga-bunga jingga di atas hingga beraroma agak... manis, sengir? Entahlah, kosa katanya untuk aroma bunga ternyata sangat terbatas. Kalau hanya ada pilihan wangi dan tidak wangi, akan ia katakan tidak wangi. Tapi ia suka aromanya. Samar-samar terhirup bersama udara, memberikan kedamaian tersendiri.

"Berani bayar mahal untuk tahu apa yang kamu pikirkan." Juno sudah berdiri, bersandar pada batang pohon.

"Untukmu gratis saja. Lagipula kamu bisa menduga apa yang kupikirkan." Maya duduk dan melihat Juno sudah mengenakan jaket. Ia segera berdiri. Mendecak kecewa. "Kamu tidak menginap?"

Juno mengiyakan. "Maaf, May. Aku harus pulang."

Pulang? Bukankah rumahnya di sini? Maya merasa tenggorokannya tercekat. "Yang kudengar berteriak-teriak di telepon itu ibumu?"

Juno mengangguk.

Maya menggigit bibir. Menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Juno akan bercerita kalau sudah mau bercerita. "Aku turut prihatin. Seandainya ada yang bisa kubantu-"

"May, masalahmu sendiri sudah terlalu besar. Kamu sendirian mengurus adik-adik, mengerjakan skripsi, dan bekerja. Aku seharusnya membantumu lebih banyak."

Maya menggeleng cepat. "Tidak. Kamu pastikan saja masalah ibumu tidak menghambat usahamu yang sedang berkembang. Buatlah kami bangga. Buatlah aku bangga menjadi kakakmu."

"Apa?" Alis Juno terangkat tinggi. Siap terjun ke kancah perdebatan lama.

Maya memandanginya tersenyum. Begitu Juno sadar ia hanya menggoda, tangannya terangkat hendak menjitak. Maya menghindar sambil tertawa. Oh, betapa ia merindukan kebersamaan mereka dulu. Untungnya setiap kali datang, Juno seakan menghidupkan lagi masa-masa itu, betapapun mereka jadi terlihat kekanak-kanakan.

"Kamu lahir pertengahan Mei, aku awal Juni, tahun yang sama," kata Juno, sambil berjalan ke koridor, mencari Bunda untuk berpamitan. "Bedanya cuma beberapa hari."

"Tetap saja aku lebih tua," kata Maya geli.

"Kenapa kamu ngotot sekali menjadi lebih tua, sementara cewek kebanyakan ingin selalu dianggap muda?" Juno mengetuk pintu Bunda. "Bunda, aku pamit dulu."

"Aku bukan cewek kebanyakan. Bunda kayaknya ketiduran, deh. Nanti aku sampaikan saja."

"Ya. Kasihan Bunda, biar dia beristirahat. Nah, Maya-Bukan-Cewek-Kebanyakan, aku pamit."

"Baiklah, Juno-Lutung-Kasarung."

"Ya ampun, kamu masih ingat itu." Wajah Juno seketika memerah.

Maya tertawa. Tak akan pernah ia lupakan penampilan Juno dalam pensi di SMA. Juno terpilih menjadi tokoh utama drama musikal Lutung Kasarung karena suaranya yang luar biasa. Tetapi siapa sangka ia benar-benar bisa tampil sebagai pangeran tampan di babak terakhir, membuat histeris para cewek. Bahkan Maya yang meriasnya sampai tercengang-cengang sendiri. Tentu saja ia tak mau mengakuinya. Tidak dulu. Tidak juga sekarang. "Aku bertemu Angie di toko buku belum lama ini. Dia menanyakanmu. Karena itu aku ingat," kilahnya.

"Oh. Dia masih mengerikan seperti dulu?"

"Masih." Maya meringis, mengingat satu kata dari Juno biasa dibalas Angie dengan celoteh panjang dan tawa melengking.

Juno menggeleng-geleng. "Entah kenapa dulu aku naksir dia. Kamu juga sih yang mendorong-dorong aku! Lutung Kasarung berjodoh dengan Purbasari. Astaga! Bisa-bisanya aku percaya kata-katamu itu."

"Lho, kan benar begitu." Maya memprotes. "Menurut cerita rakyat."

"Iya, tapi kan tidak berarti berlaku juga buat pemeran Lutung Kasarung dan pemeran Purbasari. Apalagi buat aku dan Angie. Seharusnya aku tidak mendengarkanmu dulu." Juno mengomel.

"Oh, sekarang kamu bisa bilang begitu. Dulu, siapa coba yang resah karena tak ada kegiatan di malam minggu?"

"Nah! Aku cari kegiatan bukan cari cewek."

"Cari kegiatan atau sengaja bikin aku senewen?" Maya berkacak pinggang.

"Habis kerjamu cuma membaca dan belajar terus. Tak kenal waktu. Kamu yang bikin aku senewen."

"Oh, sorry kalau otakku tidak secemerlang kamu. Kalau aku ingin kuliah di ITB, aku harus belajar tiga kali lebih keras dari kamu. Terbukti kan, kamu lebih dulu lulus, dan aku masih berkutat dengan tugas akhir sekarang."

Juno hendak membantah. Maya buru-buru membekap mulutnya dengan tangan kanan. Mata di balik kacamata itu melotot. Lalu meredup pasrah, sadar perdebatan mereka akan panjang kalau diteruskan. Maya pun menurunkan tangannya dan mendorong Juno ke pintu depan. Sudah pukul 22.20. "Hati-hati di jalan," katanya.

Juno tersenyum. Sesaat kemudian ia berlalu dengan sepeda motornya, tanpa menoleh lagi. Maya merasakan sebuah lubang menganga di dada, yang buru-buru diisinya dengan doa. Lindungi Juno, ya Allah. Ringankan bebannya. Mudahkan jalannya. Kembalikan ia ke rumah ini secepatnya. Aamiin.

***


Pangeran Bumi Kesatria Bulan (Complete)Where stories live. Discover now