Inikah rasanya? Rasa diinginkan oleh orang lain? Batin Ana menjerit, meronta akan degupan yang tidak terkendali. Seolah-olah ada kupu-kupu berterbangan diperutnya. Ia pun semakin mendekap Dylan erat. Ia membutuhkan sandaran, hanya sebentar.

"Di rumah," masih dengan memeluk Dylan, Ana menjawabnya dengan senyuman tipis.

"Kamu daritadi di rumah dan gak ngabarin aku?" Dylan melepas pelukan mereka dan memberikan tatapan tidak percayanya. Sedangkan Ana cekikikan dan kembali memeluk Dylan dengan erat.

"Kamu biarin aku khawatir dan buat aku cepat-cepat kemari untuk melihat keadaanmu, nakal ya kamu," Dylan menjepit hidung Ana dengan jari telunjuk dan ibu jarinya sehingga Ana kesusahan bernafas dan memukul lengan Dylan agar melepaskan jepitan dihidungnya.

"Apasih kamu," Ana masih setia memukul lengan Dylan walaupun Dylan telah melepaskan jepitan dihidung Ana.

"Aku suka deh kalau kamu mukul manja kayak gini," Dylan tersenyum malu dan makin memberikan lengannya untuk Ana pukuli. Seketika Ana berhenti dan hendak menutup pintu rumahnya, namun Dylan dengan cekatan langsung menghadangnya.

"Pacar aku ngambek ya," Dylan menoel dagu Ana dan memamerkan senyuman menggoda yang membuat Ana jijik melihatnya.

"Berhenti atau gue tabok bolak-balik?" Ana dengan sigap menggantungkan tangannya diudara dan bersiap ingin menampar Dylan.

"Ampun yang," Dylan mencakupkan kedua tangannya didepan dada dan berlutut dihadapan Ana. Seketika tawa Ana meledak karena tingkah laku Dylan itu, Dylan yang melihatnya hanya dapat tertawa bersama dan mengucapkan syukur dalam hatinya karena telah membuat suasana hati Ana membaik.

"Aku bawa ini buat kamu tadi," Dylan berlari menuju mobilnya dan membawa sebuah boneka beruang raksasa dan memberinya kepada Ana yang terdiam dengan wajah tak percayanya

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

"Aku bawa ini buat kamu tadi," Dylan berlari menuju mobilnya dan membawa sebuah boneka beruang raksasa dan memberinya kepada Ana yang terdiam dengan wajah tak percayanya.

"Gimana? Aku udah masuk ke kriteria cowok peka idamanmu belum?" Ucapan Dylan membuat Ana diam terpaku selama beberapa saat sebelum menjawab."Udah, kamu lebih dari kriteria cowok idaman aku," dengan semangat Ana kembali memeluk Dylan hingga hampir terjatuh karena serangan tiba-tiba yang dilakukan Ana.

"Kamu jadi agresif ya, siapa yang ngajarin?" Dylan senang karena inisiatif Ana yang memeluknya terlebih dahulu untuk pertama kalinya.

"Dylan Samudra Wijaya," dengan mantap Ana menjawabnya sembari melihat Dylan yang pura-pura kaget karena ucapan Ana yang menyebutkan namanya.

"Dylan yang ganteng itu?" Seolah bukan menyebutkan namanya, ia mengatakan hal yang membuat Ana kesal dan mencubit pinggangnya.

"Pede banget," dilepasnya pelukan itu dan berbalik untuk memasuki ruang tamu, membiarkan Dylan berdiri didepan pintu dengan wajah yang cemberut.

"Yang, aku gak disuruh masuk?" Dylan nyelonong masuk dan langsung duduk disamping Ana dan merangkulkan tangannya kebahu Ana yang sedang menonton drama kesukaannya.

"Yang, cowok cakep gak boleh dianggurin," ucap Dylan ketika melihat Ana yang sibuk menonton drama korea tentang seorang dokter yang menangani pasien dengan penuh luka-luka disekujur tubuhnya karena kasus pencurian, namun yang disangka sebagai penyebab pasien tersebut sampai luka justru seorang yang menjadi korban pencurian dari pasien itu.

"Ini lagi liatin cowok ganteng," Ana masih menatap televisi layar datar yang menampilkan seorang tentara yang memeriksakan kesehatannya keseorang dokter yang dulunya pernah menganggap dirinya sebagai pelaku atas luka-luka yang dialami pasiennya tempo hari.

"Yang, cowok gantengnya disebelah kamu," Dylan masih berusaha untuk menarik perhatian Ana dari layar yang sekarang menampilkan adegan seorang dokter yang diajak kencan oleh tentara itu dan ketika mereka akan berkencan, cowok itu pergi meninggalkan sang gadis sendirian dihelipad.

"Iya, aku lagi liatin cowok ganteng, Song Joon Ki," dengan mata berbinar-binar Ana mengatakan nama aktor yang memainkan drama korea yang sedang ia tonton.

"Yang, gak boleh nganggurin pacar ganteng kamu ini," Dylan dengan percaya dirinya mengatakan hal yang membuat Ana memutarkan kedua matanya dengan jengah.

"Bodo." Satu kata dari Ana itu membuat Dylan kelabakan dibuatnya. Bagaimana tidak, setiap Ana mengeluarkan kata terkutuk itu, Dylan berubah menjadi makhluk tak kasar mata yang tak dianggap ataupun didengar.

"Yang, beli es krim yuk," ajak Dylan seraya menggenggam kedua tangan Ana, sedangkan pemiliknya asik memandang televisi yang masih menyiarkan drama korea favoritnya.

"Emang aku anak kecil, ketika ngambek hanya ditawari es krim?" Dengan kesal Ana menghempaskan kedua tangan Dylan yang menggenggamnya dan memalingkan wajahnya dari Dylan.

Sebuah senyuman tercetak di bibir Dylan saat mengingat kelemahan Ana. "Aku bawa coklat."

Seperti yang Dylan duga, Ana langsung membalikkan badannya dengan mata yang penuh dengan binar.

"Jadi, kalau ada coklat, cowok kamu ini jadi gak dianggurin. Nakal ya kamu." gemas Dylan dengan mengacak rambut Ana saat sang gadis masih menampilkan wajah penuh harap ke arah Dylan.

Dylan memberikan dua barang coklat yang diambil dengan sangat antusias oleh Ana.

"Terimakasih, Sayang."

"Apa? Coba bilang satu kali lagi!" perintah Dylan dengan membalikkan badan Ana.

"Apaan sih." tepis Ana seraya kembali sibuk dengan tontonan dan coklat yang ada di tangannya.

"Coba ulangi!" perintah Dylan seraya menggelitik perut Ana sehingga mereka tertawa.
•••

Kenangan-kenangan itu mulai berputar dalam pikirannya. Kejadian enam bulan yang lalu, di mana saat awal hubungan mereka terjalin. Banyak momen manis yang mereka jalani, namun mereka lupa jika sesuatu yang manis akan ada rasa pahitnya juga.

Semenjak berpacaran dengan Dylan tujuh bulan yang lalu, ia sudah mengurangi sayatan-sayatan yang ada di tubuhnya. Namun, entah apa yang menjadi penyebabnya beberapa hari kebelakang, ia mengambil pisau yang selalu ia taruh di laci meja sebelah tempat tidurnya.

Ia tersenyum kecil melihat pisau yang berada di tangannya masih tajam dan mampu membuat ukiran-ukiran yang membuatnya senang.

Satu demi satu sayatan masih tak membuat ia merasa kesakitan, meskipun darah telah meluncur dengan derasnya di kedua pergelangan tangannya. Itu saja tak cukup. Ia kembali menggoreskan pisau di lengan dan kaki hingga cairan berwarna merah itu mengalir tanpa henti.

Tak ada satupun rasa sakit. Yang ada hanya kesenangan dan beban yang seolah terangkat di pundaknya. Ia merasa lebih hidup.

Entah sudah berapa lama ia seperti ini, duduk dengan bersandar pada sisi ranjang dan tangan serta kaki terkulai lemas dengan darah yang menutupi kulit putihnya.

Ditengah kesadarannya, ia mendengar suara derap langkah kaki. Mungkin ia hanya berilusi karena yang ia tahu kedua orang tuanya berada di luar kota untuk waktu yang lama.

"ANA!" suara teriakan itu membuat Ana tersenyum, karena ia tahu siapa orang itu. Seseorang yang menjadi tujuan hidupnya kini. Dylan.

•••

DylanaWhere stories live. Discover now