CHAPTER 4 : TOWARDS THE MORNING WITH YOU

764 123 17
                                    

KEESOKAN paginya.

Seseorang yang menaiki motor berwarna hitam berhenti di depan rumah Dea. Orang itu adalah Dimas. Tak lama kemudian, Dea pun keluar dengan wajah bahagia.

"Hai, Dim, maaf ya nunggu lama."

"Iya nggak pa-pa kok, yaudah, berangkat sekarang yuk, nanti kita telat."

Evan berdiri di pekarangan rumahnya. Memandangi dua manusia di seberang rumahnya. Gadis yang dulu selalu ia jaga, kini memilih membiarkan pengawasan dari Evan memudar. Dan laki-laki yang tengah menunggangi motor itu, Dimas. Ia telah merebut semua mimpi, harapan, yang sejak dulu Evan rencanakan. Tiba-tiba ibun ke luar menghampiri Evan.

"Kamu ngapain di situ, Van, kok nggak nganterin Dea sekolah?" tanya ibun.

"Enggak. Dia udah ada yang nganterin," ujar Evan dingin kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Ibun kebelingsatan dengan kalimat Evan. Perempuan paruh baya itu menilik ke seberang. Dea tengah bersiap-siap berangkat ke sekolah dengan seorang laki-laki lain, yang ibun pun tak pernah melihatnya. Ibun menghampiri Evan yang tengah duduk di ruang tengah. Mencoba menghilangkan kekesalannya dengan menonton televisi. Namun, sesekali ia mengganti acara televisi tersebut berulang kali tanpa ia sadari.

"Kamu kenapa sih, Van? Kan bagus kalau Dea ada yang nganter. Jadi kamu kan bisa istirahat," ujar ibun.

Evan terdiam sambil terus menonton acara televisi tersebut. Meski tak begitu fokus pada acara di dalamnya. Ia berusaha mengacuhkan semua kata-kata ibunnya.

"Oh, atau jangan-jangan kamu cemburu?" tanya ibun sambil tersenyum.

"Apaan sih bun? Udah ah aku mau ke kamar dulu." Evan berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan perempuan paruh baya itu dengan senyum kecil yang menggantung di bibir merahnya.

***

Hari-hari kini telah berubah. Dea terus melewati harinya bersama Dimas, sang pujaan hatinya. Sedangkan Evan, laki-laki itu masih diselimuti sang sembilu. Membiarkan pilu mengundang disetiap waktunya. Membiarkan sendu berkepanjangan.

Evan seakan dicampakan oleh Dea. Bagaimana tidak. Evan sang sahabat Dea sedari kecil, kini telah hilang dari kehidupan Dea. Bukan karna pergi, tapi karna Dea memiliki yang lebih dari Evan. Ia adalah Dimas. Karna saat ini, dalam hidup Dea hanyalah Dimas, bukan Evan.

Evan terduduk di belakang meja belajarnya. Menatap foto dirinya dengan Dea. Wajahnya terlihat sendu, terkadang perasaan kesal muncul ketika mengingat tentang Dimas dan Dea yang selalu bersama. Cemburu. Tak dapat di pungkiri, Evan merasakan hal itu.

Di samping foto tersebut, Evan menatap beberapa ornamen yang identik dengan kota London, serta gambar salah satu kampus yang selama ini Ia dambakan dan sering pula ditawarkan oleh ibun untuk belajar di sana. Namun dirinya masih belum bisa menerima tawaran tersebut. Alasan yang masih ia pegang hingga sekarang, Evan tak bisa meninggalkan Dea. Begitu saja.

Tiba-tiba sebuah suara seseorang terdengar di belakang pundak Evan hingga menghentikan lamunannya. Perempuan paruh baya itu berdiri di belakang Evan.

"Tawaran ibun masih berlaku lho, Van," ujar ibun menepuk pundak Evan.

"Eh, ibun." Evan terkejut sejenak. "Evan masih bingung, bun," sambungnya sendu.

"Yaudah, kamu masih bisa pikir-pikir dulu kok, tawaran ibun masih terus berlaku buat kamu, Van," ujar ibun.

"Makasih ya, bun." Evan memeluk sang ibun dengan hangat.

Tiba-tiba saja suara orang berdeham terdengar di seisi ruang. Itu bukanlah suara ibun atau Evan. Suara itu berasal dari perempuan yang tak asing. Dea.

Dear London [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora