1 - Gadis Yang Tak Pernah Dewasa

10.6K 963 46
                                    

***

JAKARTA, INDONESIA

"Mana buku tabungan kamu?" Irena Wisessa Sridjaja mengulurkan tangan di hadapan putri semata wayangnya dengan sikap bossy yang khas. Mata besar Irena menatap tajam Ellena, sampai putrinya berkali-kali menghindari kontak mata karena takut mata mamanya itu bisa mengeluarkan laser sewaktu-waktu.

Ellena tidak mempunyai pilihan lain. Dengan hati setengah hati dan tidak rela, dikeluarkannya buku tabungan dari dalam tas Prada miliknya dan menyerahkannya pada Irena.

Gadis bertubuh mungil yang tengah duduk berhadap-hadapan dengan Irena ini bernama lengkap Ellena Reinadeth Sridjaja. Si bungsu dari keluarga Sridjaja yang entah mengapa merasa hidupnya terlalu dikekang oleh sang ibu dan merasa terlalu dianak tirikan. Ia punya seorang ayah dan seorang kakak laki-laki yang sangat memanjakannya, tapi perlakuan Irena yang tegas dan otoriternya bukan main membuat Ellena bertanya-tanya apakah ia memang anak kandung Irena atau anak pungut.

Bisa dibayangkan seperti apa reaksi Irena saat menyambut kepulangan Ellena. Reaksinya bukan seperti adegan mengharukan yang sering Ellena lihat di sinetron tanah air, melainkan diinterogasi dan digeledah seperti selayaknya seorang kriminal.

Oke, sesungguhnya ini bisa dibilang adalah murni 100% kesalahan Ellena. Ia sadar bahwa Irena bisa bersikap sangat tegas terhadapnya bukan tanpa alasan. Kalau saja ia bisa menahan hasrat berhura-hura, Ia tidak akan terjerat hutang sampai menggunakan uang kantor, ia tidak akan berakhir meminta pertolongan orang tuanya untuk membereskan kekacauan yang telah ia perbuat, dan tentu saja ia tidak akan kembali ke tanah air hanya untuk mendengar kicauan mama setiap harinya. Ya, semua tindakan Irena ini sebenarnya bisa dibilang sangat-sangat wajar mengingat sikap dan sifat Ellena tidak ada satu pun yang bisa dikategorikan 'beres'.

"Apa-apaan ini, Ellena?" Suara Irena terdengar membahana di seisi ruang tamu keluarga Sridjaja. Ellena sudah bisa menebak apa yang membuat mamanya bereaksi seperti itu. Ia refleks memejamkan mata, menyiapkan mental dan bersiap-siap menutup telinga rapat-rapat jika amarah Irena tiba-tiba meledak. Tentu saja Irena pasti meledak. Ellena yakin itu. Nominal yang tercetak di dalam buku tabungan cukup menjadi alasan yang logis.

"Kamu bekerja di Singapura dua tahun lho, Ellen. Dua tahun!" Irena melemparkan buku tabungan Ellena ke atas meja lalu melipat tangan di depan dada dan menatap putrinya berang. "Dua tahun kamu tidak pernah pulang, hanya mengabarkan kalau kartu kredit kamu yang menunggak sudah dilunasi bos kamu, dan yang buat mama tidak habis pikir itu, selama dua tahun kamu bekerja, uang yang tersisa di rekening kamu cuma 2 Dollar Singapura? Kamu di sana kerja jadi sekretaris atau tukang sapu, hah?"

"Ya jadi sekretaris lah, ma." Jawab Ellena. "Mama capek-capek sekolahin Ellen tinggi-tinggi sampe S-2, masa Ellen Cuma jadi tukang sapu? Please, ma. Ellen tidak sebodoh itu."

"Lalu kemana gaji kamu? Kamu tidak malu setiap print buku tabungan? Untuk apa kamu punya rekening tabungan jika selalu tidak ada isinya?"

"Kata siapa tidak ada isinya ma? 2 Dollar Singapura itu juga uang." Ellena menjawab dengan tidak tahu malu. "Dan mengenai gaji, setiap bulan aku punya kebutuhan yang harus aku penuhi. Bedakku habis. Mama tahu kan berapa harga satu kotak bedakku? Jadi mama tenang saja, uangku kali ini kuhabiskan dengan sangat bijak."

"Bijak dari Hongkong?" Maki Irena. "Mama kira dengan perginya kamu ke Singapura, kamu bisa lebih dewasa dan tidak foya-foya, tapi ternyata kamu sama sekali tidak berubah."

Irena menghela nafas berat. Ia terdiam selama beberapa saat dengan wajah frustasi, lalu berpaling menatap putrinya dan bertanya dingin, "Mana kartu debit kamu?"

"Buat apa?" Tanya Ellena enggan. Firasatnya mengatakan bahwa kelangsungan hidupnya selama di Jakarta akan terancam mengingat Irena sudah memalak kartu debit miliknya.

MY MONEY TREE (TELAH DITERBITKAN)Where stories live. Discover now