I love when it rains

1.5K 76 0
                                    

Kamis, 1 Mei, 2014.

Hujan lebat turun hari ini. Morgan menatap rintik-rintik hujan deras yang berlomba-lomba turun ke bumi. Ia menghirup udara yang sejuk hingga memenuhi paru-parunya setelah itu ia hembuskan perlahan.

Morgan kini tengah berdiri di ujung lantai atas rumah sakit. Disana, ia mencari ketenangan. Ya, sekedar ketenangan untuk memulihkan pola pikirnya dan meyakinkan bahwa kekasihnya yang masih memejamkan mata itu akan segera tersenyum menatapnya dan dunia ini. Dari tempat itu, Morgan bisa dengan bebas menatap sekeliling rumah sakit dan melihat bumi yang basah kuyup diguyur hujan.

"I love when it rains." gumam Morgan pelan. Siang tadi, teman-temannya sengaja datang menjenguk Aelke dan kembali menghibur Morgan dengan kekonyolan mereka. Tapi mereka tidak bisa berlama-lama, karena aktifitas kampus memang tengah sibuk-sibuknya menjelang UAS.

Morgan berharap bisa seperti Dicky dan Dinda yang terlihat serasi, konyol, tapi mereka berdua tetap langgeng sejak masuk SMA sampai saat ini. Ia juga berharap bisa seperti Bisma dan Rasya yang selalu menebar senyuman mereka meski masalah hidup mereka tetap ada. Ia tak mau seperti Reza dan Ilham yang sebentar-sebentar ganti pacar.

"Gan!" Morgan menoleh saat ada yang memanggil namanya dan menepuk pundaknya.

"Apa, kak?" tanya Morgan. Alfa sudah berdiri di hadapannya.

"Gue pulang dulu, ya. Jaga-in Aelke lagi. Ada kerjaan mendadak, nih." ujar Alfa, Morgan mengangguk dan menyunggingkan senyuman khasnya. Alfa berjalan meninggalkan Morgan, dan setelah tubuh Alfa tak terlihat oleh pandangannya, Morgan berjalan menuju ruang ICU. Disana, gadisnya masih terbaring lemah.

Dengan hati-hati, Morgan menggenggam tangan Aelke dan mengusap punggung telapak tangannya.

"Aelke, lagi apa disana? Gak lihat aku disini? Aku merindukanmu, sayang." ucap Morgan menatap Aelke dengan seksama.

"Di luar hujan, jadi inget dulu pernah kelaperan dan mohon-mohon minta dimasakkin sama kamu, di rumah kita." ucap Morgan memutar kenangan manisnya bersama Aelke.

"Inget gak? Dulu aku pernah sengaja ngegas mobil sampe baju kamu kecipratan, cuma biar kamu mau pake baju di butik pilihan aku dan ikut makan Sushi berdua sama aku. Hehe,"

"Kamu inget juga, kan? Baby twins kita temu-in pas hujan deres banget malem-malem, abis kamu marah itu, gara-gara miniatur Sushi yang Rafaell kasih rusak sama aku..." ujar Morgan mengingat semua yang sudah mereka lewati berdua.

"Hujan punya banyak cerita tentang kita, apa kamu gak kangen semua itu?"

"Apa di alam bawah sadar kamu ada hujan?" Morgan mulai melantur.

"Aelke, rintik-rintik hujan yang turun buat aku bukan lambang tangisan, tapi harapan besar di tiap tetesnya, biar aku bisa terus sama kamu menikmati derai hujan berdua." ucap Morgan. Aelke memang tidak berubah, hanya terlihat lebih tirus dan pucat karena ia hanya mendapat asupan dari infus dan cairan obat lain yang mengalir di tubuhnya.

Morgan tersenyum menatap Aelke, banyak sekali harapan indah yang ingin ia wujudkan bersama gadis itu di masa depan. Ia memejamkan matanya, menempelkan punggung telapak tangan Aelke ke pipinya, ia memanjatkan doa terbaik untuk gadis yang dicintainya. Berdoa dengan hati tulus ikhlas, mengingat semua yang telah mereka lewati bersama-sama.

Morgan merasakan kulit permukaan telapak tangan Aelke, terasa dingin, terlihat pucat, dan Morgan tetap menempelkannya di pipinya.
Morgan mengerutkan dahinya, sepertinya ia merasakan tangan Aelke sedikit bergerak. Morgan buru-buru melepaskan tangan Aelke dan meletakkannya di atas perut Aelke. Morgan membolakan matanya saat jari kelingking Aelke bergerak, setelah itu jari lainnya ikut bergerak pelan. Morgan bangkit dari duduknya dengan perasaan yang campur aduk sambil buru-buru menekan bel kecil untuk memanggil suster dan dokter berkali-kali. Ia sangat terkejut.

Until We Die, Dear. (Baby Twins II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang