HEART SHE ONCE BELONGED

1.5K 157 41
                                    

"Wait for me to come home." - Photograph, Ed Sheeran

●●


Cahaya matahari tumpah ruah, menangkap basah debu yang berayun bebas dari langit-langit. Wanita itu terduduk di sana-di atas lantai kayu kotor sebuah loteng yang penuh sesak. Wajahnya bercerita sesuatu yang rumit. Mulai dari senyuman yang menampakkan kerutan-kerutan halus, sampai pada butiran air yang menumpuk tak berdaya di pelupuk matanya. Ada semburat kerinduan samar di wajahnya ketika ia mengucap sebuah nama: C. Levy.

Jemari rampingnya mengusap nama itu, sebagaimana membelai kening seorang bayi. Di atas sebuah kotak biru, terukir sebuah nama yang selalu terkubur rapat di dasar hatinya. Kini, kemunculannya sejak lama-lama sekali-membawa sebuah hal tua yang rapuh kembali ke permukaan. Wanita itu bahkan terkejut betapa ia masih mengingat baik masa-masa itu. Masa ketika cinta berdansa elok di dasar hatinya.

Gelombang emosi riuh menyertainya. Dan ketika keheningan mendekapnya, saat itulah air mata tak lagi berdaya menahan diri.

***

1964

Tidak ada pagi hari yang terasa sebaik itu baginya. Semilir angin sejuk meniup wajah, membuat rona merah diam-diam menyelimuti pipinya. Wajah itu berseri-seri, tidak luput juga hati yang melambung tinggi. Sekalipun perempuan itu berhati seluas samudra, perasaan campur aduk yang dialaminya tidak mampu terbendung lagi.

Maka itulah ia bersenandung, kemudian bernyanyi keras-keras bersama alunan melodi dari sekeping piringan hitam yang tengah terputar di pojok ruangan. Kakinya gatal untuk menari dan melompat. Tidak dienyahkan rasa pegal di wajah akibat senyuman yang terus-menerus terpampang sejak semalam.

"Kapan ia akan kembali?"

Sahabat terbaiknya bertanya dan tersenyum lebar ketika datang menemui wanita itu. Sebuah rutinitas bagi mereka untuk saling berkunjung, bahkan saat keduanya sudah memiliki pasangan masing-masing. Pekan ini termasuk salah satu dari jadwal kunjungan.

"Pukul empat sore ini," sahut sang perempuan berambut merah, sembari menggigit bibirnya.

"Omong-omong, aku juga turut bergembira atas surat itu, June. Brown menginginkanmu!"

Juniper 'June' Virginia Perkins, namanya. Perempuan seceria musim panas itu baru saja mendapat surat penerimaan dari universitas impiannya: Universitas Brown. Ia selalu mengelu-elukan bahwa Brown adalah destinasi yang paling hebat. Dan baginya, kedatangan surat penerimaan itu tentu saja bak mendapatkan sebuah tiket emas! Brown adalah salah satu dari dua berita yang membuatnya terbang menuju atmosfer pagi ini.

"Trims, Marion! Hari ini adalah hari yang terbaik bagiku!"

Sudah lama June menantikan kesempatan ini. Kala dulu, ia harus menunda mimpinya menjadi seorang dokter pangkalan militer karena menikahi seorang pria yang kini sedang dinantinya. Kesempatan emas itu berdiri di ambang pintu sekarang. Lalu, bagai tak cukup dengan satu kabar, kabar lain menyusul. Marya-ibu mertua June-menyampaikan sesuatu, setelah sebelumnya membuat dering nyaring telepon tak semenyebalkan biasanya. Charlie akan pulang. Pria yang menjadi alasan June mengorbankan impiannya akan pulang. Oh, betapa ia begitu berterima kasih pada bumi dan langit! Entah apa kata orang bila ia berani menyebut dirinya sebagai perempuan yang paling bahagia di dunia. Namun, June tahu, ia tidak mempedulikan hal itu.

Saat hari sudah berlalu beberapa jam, segera June pergi ke tempat pemberhentian bus yang berjarak beberapa blok dari rumah. Ia telah mempersiapkan semuanya dengan baik untuk menyambut kedatangan seorang istimewa itu. Rambut bergelombangnya terurai indah dengan hiasan emas menjepit anak rambut di sisi kiri. Bibirnya cerah dengan polesan warna merah membara, serasi dengan mata hijau zamrud miliknya. Gaun kuning yang baru dibelinya pun sempurna memperlihatkan lekuk pinggang nan ramping itu, tepat di mana Levy biasa menaruh tangannya saat mereka berdansa. June tersenyum mengingatnya. Perempuan penuh suka cita itu berpikir untuk memperlihatkan sesuatu yang berbeda.

Heart She Once Belonged | ✔Where stories live. Discover now