Part 7

31.6K 2.7K 56
                                    

Naya duduk termenung di salah satu kursi yang ada di taman kampus. Sejak beberapa hari ini dia sering terlihat melamun. Sahabatnya Hani, kadang tertanya-tanya, ada apa dengan sahabatnya yang satu itu?

Sejak mendengar bahwa dirinya di ancam akan ditarik beasiswa kuliahnya oleh Pak Andi selaku Kepala Yayasan Kampus, karena sering terlambat dan bahkan tidak masuk sama sekali dalam beberapa pelajaran yang di ajarkan di kampus. Padahal perjanjian atau syarat bagi penerima beasiswa tersebut, mereka harus selalu mentaati segala aturan yang diterapkan di kampus tersebut. Termasuk salah satunya adalah jadwal kehadiran.

Naya mendesah. Ini sudah desahan ke sekian kalinya yang terdengar.

"Woy Naya. Ngapain sendirian melamun di sini? Kesambet setan ntar baru tau rasa lo." Canda Hani, sahabatnya itu duduk di samping Naya, mengeluarkan buku-buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan kampus.

"Tumben rajin amat." Ujar Naya. Karena tak biasanya sahabatnya itu rajin membaca buku.

Hani berdecak. "Gue mau berubah, tau. Siapa tau ntar bisa dapat beasiswa kayak lo. Biar gaji hasil kerja part time bisa gue kumpulin buat beli tas branded." Hani terkekeh setelah mengatakannya.

Naya berdecak. Memang sih, ia tak heran dengan Hani. Dia bukan berasal dari keluarga kalangan atas. Tapi orang tuanya bisa dikatakan mampu kalau hanya sebatas membiayai anak-anaknya sekolah dan kuliah. Hani ini anak tertua dari tiga bersaudara. Adiknya yang nomor dua sedang duduk di bangku SMA, dan adiknya yang bungsu atau yang ketiga masih duduk di bangku SD.
Sedangkan Ayahnya hanya seorang Guru PNS dan Ibunya sebagai penjahit. Jadi, masih lumayan jika dibanding Naya yang seorang yatim piatu, hanya dirawat dan dibesarkan oleh Kakek dan Neneknya yang sudah mulai menua.

"Lo udah bikin tugas yang di suruh Pak Agung minggu lalu?" Tanya Hani. Mereka sama-sama mengambil jurusan sastra dan bahasa indonesia, dan kebetulan berada pada kelas yang sama.

Dengan lesu Naya menggeleng. Kepalanya sedang penuh dengan jawaban apa yang akan ia berikan atas tawaran Pak Andi kemarin.

"Lo kenapa sih, Nay? Udah dua hari ini gue liat lo kayak nggak semangat hidup kayak gini. Cerita dong. Siapa tau gue bisa bantu." Hani tidak jadi belajar, ia menutup kembali bukunya dan memilih fokus dengan sahabatnya itu.

"Nggak ada kok, Han. Cuma lagi males aja."

"Gue nggak yakin." Hani menyipitkan matanya, menatap Naya penuh selidik.

"Beneran, nggak ada." Naya kekeuh tidak mau bercerita.

Hani mendengus. "Ok kalo nggak mau cerita juga nggak apa-apa. Gue mau pergi aja kalo gitu. Jangan nyari gue selama lo nggak mau cerita sama gue."

Hani mulai membereskan buku-bukunya, bersiap akan pergi sebelum Naya mencegahnya.

Hani tersenyum, tidak susah menyuruh Naya untuk cerita jujur padanya karena dia tau kalau Naya tidak mau berselisih dengannya. Persahabatan mereka memang masih baru, tapi ikatannya begitu erat bagai tak terputuskan.

"Sebenarnya, aku ada masalah." Naya memulai cerita. Kepalanya menunduk tak mau menatap Hani.

"Apa masalahnya? Lo bisa sharing sama gue." Ucap Hani tulus.

Naya menghela napas sejenak.
"Beasiswa punyaku, terancam akan ditarik."

"What?! Emangnya kenapa? Apa masalahnya? Lo bikin kesalahan fatal?" Pekik Hani tak percaya.
Pekikannya mampu membuat mahasiswa yang ada di sana menatapnya aneh. Namun Hani tak menghiraukannya.

"Kayaknya gitu." Sahut Naya.

"Kok kayaknya? Lo aja nggak yakin udah bikin kesalahan apa nggak, masa pihak kampus mau main tarik aja beasiswa lo. Ga adil kayak gitu." Hani tak terima.

Menjaganya  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang