Part 3

42.1K 3K 152
                                    


¯
Jika pagi tadi awan di langit mengambang cukup cerah, maka tidak dengan siang ini. Langit seolah mengerti bahwa seorang Alif baru saja berduka atas kematian hewan peliharaan tercintanya, si kambing yang mungil.
Alif hanya mampu terdiam dengan wajah lesu memperhatikan kambing kecilnya dikuliti oleh Pak Asep. Ia tampak tak rela kambing kecilnya itu dipotong.

“Pak, jangan kasar-kasar mengulitinya. Nanti bayi kambingku kesakitan.” Alif mengoceh tak jelas.

Pak Asep terperangah. Apa karena satu ekor kambingnya yang mati, majikannya tersebut berubah menjadi seorang idiot? Bagaimana jika seluruh kambingnya mati secara bersamaan, ya? Apa mungkin majikannya itu akan bunuh diri?

Pak Asep menggelengkan kepalanya. “Den, kambingnya sudah mati. Nggak akan berteriak kesakitan 'mbheeek...mbheeek...' begitu meskipun mau saya cabik-cabik isinya sekalian,” sahut Pak Asep sembari memutar bola matanya.

Mendengar sahutan Pak Asep, Alif meringis ngeri.

Dicabik-cabik, katanya?

Alif menelan ludahnya kasar. Membayangkan hal itu, membuatnya semakin tidak tega jika kambing itu dimasak dan menjadi santapan mereka sekeluarga nanti.

“Pak Asep, udah selesai?” Mama Dinda muncul di ambang pintu dapur, ingin melihat sejauh mana Pak Asep selesai menguliti si kambing malang tersebut.

“Dikit lagi, Bu,” sahut Pak Asep.

Mama Dinda mengangguk paham. Ketika tatapan beliau teralih pada Alif, dahi wanita separuh abad tersebut berkerut. “Kamu kenapa, Lif?”

Dengan lesu Alif menjawab, “kambingku.”

“Kenapa kambingmu? Ada yang mati lagi? Sini, potong sekalian.”

Alif menatap mamanya sebal. Saat ia sedang bersedih, mamanya tersebut malah berkata demikian yang sukses membuat hatinya sakit bagai tersayat pisau karatan.

“Den Alif nggak rela kambingnya disembelih, Bu. Makanya lesu gitu. Bahkan saya dikasih pesan supaya nggak mengulitinya dengan kasar karena takut kambingnya kesakitan.” Mewakili Alif, Pak Asep menjelaskan apa yang sedang terjadi dengan majikannya tersebut.

Mendengar penjelasan Pak Asep, Mama Dinda sontak menutup bibirnya rapat-rapat. Menahan diri untuk tidak menertawakan tingkah lucu putra suaminya tersebut.

Wanita paruh baya itu hanya bisa berdehem demi menetralkan suaranya agar tidak terdengar sumbang karena berusaha menahan ledakan tawanya.
“Lif, dengerin Mama.”

“Hmm.” Alif menanggapi dengan gumaman. Posisinya sedang berjongkok, menyangga wajahnya menggunakan kedua tangan terletak di atas lutut. Matanya masih terfokus dengan kambing malangnya yang sedang dikuliti Pak Asep.

“Hewan, yang awalnya halal untuk kita santap akan menjadi haram jika kita kasian padanya saat akan disembelih atau dimakan. Karena dengan begitu, kita seperti meratapinya dan nggak rela hewan tersebut dijadikan bahan santapan. Itu Kakek Mud yang bilang, sih. Apa dalilnya Mama juga nggak tau. Lagipula, apa sih yang bikin kamu sedih sampe segitunya? Kambingmu cuma mati satu, bayinya. Masih ada 24 ekor yang hidup, sehat-sehat, gemuk-gemuk pula.”

“Mama nggak ngerti.” Hanya itu yang mampu Alif katakan.

Mama Dinda mendesah. “Apa yang Mama nggak ngerti? Sewaktu kecil, Mama juga punya hewan peliharaan, lho. Mama pelihara bebek yang dikasih sama Kakek Mud untuk dipelihara. Mama menyayangi bebek-bebek itu seperti kamu menyayangi kambing-kambing itu. Tapi bedanya, Mama nggak sesedih itu saat tau bebek-bebek peliharaan Mama mati serentak akibat diracuni orang di sawah. Bahkan Mama nggak dapat untung apa-apa. Capek-capek pelihara, eeh malah mati semua. Nggak ada yang sempat dipotong. Kamu masih mending ketahuan saat kambingnya sakaratul maut, bisa segera dipotong aja.” Mama malah curhat. “Nggak usah terlalu berlebihan deh, Lif. Mending kamu masuk ke rumah sana, bantuin Mama jemur kasurmu di halaman samping. Nggak kering kalo jemur di teras aja. Ayo.”

Menjaganya  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang